Betapa aku ingin sekali mati. Menyusul Pram, kekasihku yang telah lebih dahulu mati.
Tepat setahun yang lalu, 2 September 2008, di ulang tahunku yang ke 28, Pram melamarku. Dengan cara yang mungkin orang lain bilang kuno, tapi aku suka. Waktu itu sepulang kantor, Pram mendatangi kubikelku. Lalu berlutut dengan satu kaki sambil menyorongkan wadah beledu berisi cincin emas mungil. Sederhana dan tanpa mata. Tapi berpendar oleh cinta.
Aku menangis, tersenyum, mengangguk, dan memberikan jemariku secara bersamaan. Teman-teman kantor kami bersorak-sorai dan bertepuk tangan. Oh...bahagia sekali aku waktu itu. Dunia ini milikku. Aku menjadi wanita paling bahagia sore itu.
Sore itu kami pulang bersama. Berjalan bergandengan pelan-pelan, hendak menuju cafe kecil favorit kami yang memang dekat dengan kantor kami. Rencananya malam itu akan kami habiskan bersama berdua, merayakan ulang tahunku sekaligus pertunangan kami. Sambil berjalan, sesekali kami saling melempar canda dan rayuan. Waktu itu tepat jam 7 malam. Cincin di jari manisku memantulkan cahaya lampu kota yang temaram.
Tanpa diduga, sebuah mobil Avansa melaju kencang tak terkendali ke arah kami.
Terdengar suara seorang wanita, "MAS PRAAAMMMMM!!!!!"
Kemudian serasa ada yang mendorong tubuhku dengan kasar. Aku terpelanting, kepalaku membentur kursi kayu di pinggir trotoar, dan kemudian hitam.
source: sejindo12.blogspot.co.id |
Entah berapa jam setelahnya aku terbangun. "Mar!!! Alhamdulilah, Nak. Kamu sudah sadaarrr!!!!" Mamaku sudah ada di dekatku dan menciumiku. Kepalaku rasanya pening sekali.
"Aku dimana? Pram mana, Ma?"
Begitulah kekasihku mati tepat setahun yang lalu. Tepat pada hari ulang tahunku. Tepat pada hari pertunangan kami. Entah mengapa hanya aku yang selamat pada kejadian itu.
Setahun berjalan, kulalui dengan hati hampa. Seperti robot aku bekerja, makan, minum, tidur, dan melakukan segala aktifitasku. Aku tidak menangis, tidak mengiba. Aku hanya diam. Aku menutup diri dari teman-teman bahkan keluargaku. Aku menutup diri dari dunia sekitarku.
Mestinya aku sudah menikah kini. Mungkin malah sudah hamil anak pertamaku bersama Pram.
Setahun sudah aku berdiam diri, membentengi agar dunia tidak melihat tangisku. Kini, pada 2 September 2009 ini, pada jam 7 kurang malam ini, aku menaiki atap gedung kantorku. Aku melihat ke bawah, ketempat Pram dulu meregang nyawanya.
Aku melihat jam tanganku, "sepuluh detik lagi, aku akan menyusulmu, Pram. Kita akan bersatu lagi."
....delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua...
"Tunggu!!!"
Lalu serta merta, sebuah tangan yang kokoh melingkari pinggangku dan membawaku menjauh dari tepian atap gedung. Aku menoleh. Kutatap wajah tampan dan asing di belakangku. Sejenak aku tercenggang melihat ketampanannya. Wajahnya bagai dewa-dewa Yunani. Sempurna bagai dipahat. Dan halus bagai porselen. Coklat merata bagai tembaga.
Ah...persetan dengan orang asing, yang bahkan tak tahu apa-apa tentang hidupku.
Tanpa berkata apa-apa, aku berjalan lagi ke arah tepi atap gedung.
"Siapa bilang aku tak tahu tentang hidupmu, Marlena?" Aku menoleh terkejut.
Bagaimana orang ini bisa tahu namaku? Bagaimana orang ini bisa membaca pikiranku
Ah...persetan!
Aku melangkah lagi...
"Kamu pikir bisa menyusul Pramono dengan cara begitu? Yakin kalian akan bertemu?"
Kali ini aku menoleh dan terdiam lama, sambil memandangnya terkejut dan bertanya-tanya.
"Kemarilah!" Kata si tampan itu. Dan bagai tersihir aku mendekatinya.
"Kamu patah hati? Serasa ingin mati dan menyusul Pramono?"
Aku mengangguk.
"Kamu ingin bertemu Pramono lagi?"
Aku mengangguk.
"Bahkan mengorbankan hidupmu?"
Aku mengangguk lagi.
"Hmm...baik. Aku akan mengabulkan permintaanmu. Tapi sebelumnya, tolong lihat ke jalanan di bawah dulu."
Aku menurutinya. Melongok melihat ke arah bawah. Dan lagi-lagi, aku terkejut bukan buatan. Mobil, sepeda, anjing, manusia, apapun, semuanya kaku terpaku tak bergerak. Seakan-akan beku pada gerakan terakhirnya. Aku mendongak ke atas. Burung-burungpun kaku di udara dengan sayap terentang.
Akupun mulai menyadari, bahwa angin sudah berhenti bertiup pada detik ini.
Aku menoleh cepat, "Apa yang kamu lakukan?? Siapa kamu?!!"
Laki-laki itu tersenyum. Kemudian bergerak mendekatiku dengan gayanya yang anggun. "Aku bukan apa-apa. Ketika kamu berkomunikasi denganku, otomatis waktu akan terhenti sejenak. Jangan khawatir, itu hanya bentuk keseimbang alam. Karena aku sesungguhnya tidak ada. Mana ada orang yang membuang-buang waktu untuk sesuatu yang tak ada?"
Aku mengerjapkan mata kebingungan.
"Usia manusia adalah sesuatu yang berharga. Meski hanya semenit, tetap saja berharga. Tentunya kau tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk sesuatu yang sebenarnya tidak ada".
"Mau apa kamu?"
"Aku akan mengabulkan apapun permintaanmu, Marlena. Apapun. Meski yang paling mustahil sekali pun. Dengan syarat yang sangat mudah."
"Apa syaratnya?"
"Aku meminta satu tahun usia hidupmu?"
"Maksudmu?"
"Begini. Manusia diciptakan dengan takdir yang sudah digariskan. Semua kejadian, bukan dimaksudkan agar manusia sengsara, tapi pasti ada makna ataupun hal lain yang terkadang di luar jangkauan logika manusia. Termasuk usia. Manusia ketika diciptakan, sudah digariskan dengan rentang usia pula. Misal kakekmu yang baru saja meninggal. Semenjak diciptakan, sudah digariskan bahwa rentang usianya adalah sampai dengan 72 tahun.
Yang aku minta hanyalah satu tahun hidupmu. Bila takdir usiamu 70 tahun misalnya, aku meminta satu tahun, sehingga kamu hanya akan hidup sampai dengan usia 69 tahun. Apakah cukup jelas?"
Aku mengangguk dengan gemetar.
"Maukah menerima tawaranku? Kamu boleh meminta apapun. Apapun!"
Baiklah. Apalah artinya satu tahun kehidupanku yang mengenaskan, bila ditukar dengan bertahun-tahun kebahagiaan hidup mendatang bersama Pram?
Hanya setahun lebih cepat mati. Hanya setahun...
"Baik. Aku terima."
Laki-laki tampan itu tersenyum. Senyumnya tampak mengerikan.
"Aku kembalikan kamu tepat ke masa satu tahun yang lalu, pada saat kau dilamar oleh Pram."
Kemudian kabut tebal menyelimutiku, dan dunia serasa berputar.
****
Hari ini, 2 September 2008, di ulang tahunku yang ke 28, Pram melamarku. Dengan cara yang mungkin orang lain bilang kuno, tapi aku suka. Waktu itu sepulang kantor, Pram mendatangi kubikelku. Lalu berlutut dengan satu kaki sambil menyorongkan wadah beledu berisi cincin emas mungil. Sederhana dan tanpa mata. Tapi berpendar oleh cinta.
Sore itu kami pulang bersama. Berjalan bergandengan pelan-pelan. Pram mengajakku merayakan hari ini ke cafe kecil favorit kami, tapi aku menolak.
Tak akan kubiarkan kau mati, Pram. Akan 'kuubah takdir ini.
"Kita langsung ke rumahku saja," aku menarik tangannya.
Aku bertolak menolak takdir...
Sambil berjalan, sesekali kami saling melempar canda dan rayuan. Waktu itu tepat jam 7 malam. Cincin di jari manisku memantulkan cahaya lampu kota yang temaram.
Tiba-tiba dari arah belakang, ada yang menarik rambutku. "Perempuan sundaall!!!!" Aku tersungkur jatuh. Aku mendongak, dan melihat perempuan hamil tua dengan mata merah karena tangis menampar Pram.
PLAKK!!!
"Laki-laki bajingaaann!!! Kamu bilang ke Jakarta untuk bekerja?! Tapi apa yang kudengar?! Katanya kamu punya pelacur disini! Dan lihat pelacur itu kamu belikan cincin? Kamu belikan cincin?? Apa lagi yang kamu berikan padanya? Bahkan sekedar uang untuk istri dan calon anakmu ini saja kau selalu beralasan! Keparaaattt!!!"
Perempuan itu terus meradang. Mulutnya menyemburkan berbagai macam cacian. Tangan dan kakinya memukul dan menendang tubuh Pram dengan membabi buta. "Wati, tolong dengarkan aku dulu. Dia itu tidak ada apa-apanya dibanding kamu. Tolong dengarkan. Dia merayuku. Aku rindu sekali denganmu sehingga terbujuk rayuannya."
Dari trotoar tempatku terjatuh, aku menatap Pram tak percaya. Merayumu, katamu? Kapan aku merayumu? Tak ada apa-apanya? Astaga, apa-apaan semua ini? Kekasihku ternyata sudah punya istri dan mencampakkanku di hari yang sama setelah melamarku?
Aku teringat sekelebatan teriakan wanita saat kecelakaan pada masa takdir yang telah kualami sebelum ini. Teriakan, "MAS PRAAAMM!!!" Teriakan perempuan yang saat ini membabi buta memukuli dada Pram.
Aku berdiri, terisak. Tidak mungkin. Pram yang satu tahun ini kukenal dengan baik. Pram yang mencintaiku.
Perlahan aku melangkah mundur.
Tanpa kusadari, aku semakin mendekati jalan raya dan dari kejauhan sebuah Avansa melaju dengan kencang menyambar tubuhku. Aku merasakan rasa sakit tak terperi diseluruh tubuhku. Dan kemudian rasanya seperti melayang...
****
Laki-laki tampan itu tersenyum di depanku, saat aku terengah-engah karena pengalaman yang baru saja terjadi.
"Selamat datang di dunia roh penyesalan, Marlena."
Serta merta aku berlari menuju tepian atap gedung. Melihat ke arah bawah gedung perkantoran.
Di bawah sana tergeletak tubuh tak bernyawaku, berlumuran darah dengan isi kepala terburai. Orang banyak mengerumuni jasadku. Pram dan wanita yang meradang hanya berdiri di kejauhan. Terlihat gerak tubuh Pram menenangkan wanita itu. Sesekali Pram mengecup ubun-ubun kepala perempuan itu, yang lambat laun tak lagi meradang.
"Mengapa semua bergerak? Katamu waktu akan berhenti saat aku berbicara denganmu?" Tanyaku mencoba mencari celah.
"Tidak lagi. Karena kita kini sama-sama tak ada."
Lalu, tangan kokohnya menyambar pinggangku, dan kembali dunia rasanya berputar.
****
"Selamat hari peringatan kematianmu yang pertama, Marlena. Tahun lalu kamu telah mati."
Aku melihat ke arah jam tanganku. 2 September 2009.
"Tidak. Aku belum mati kali ini. Aku tidak jadi bunuh diri hari ini!!!"
"Ya, kamu tidak bunuh diri hari ini. Karena kamu sudah mati dalam kecelakaan pada tahun lalu."
"Kenapa begitu?!! Katamu kau hanya mengambil setahun waktu hidupku?"
"Ya. Bila tidak kucegah, kau akan bunuh diri dan mati pada tahun 2009. Tapi karena aku mencegahmu, dan kau setuju aku mengambil waktu hidupmu, maka usiamu berkurang satu tahun. Jadi kau mati pada tahun 2008."
Hawa dingin menggerogotiku secara perlahan. Ketakutan, penyesalan, kesedihan, kemarahan, kekecewaan, bercampur menjadi satu. Aku melihat ke arah bawah gedung perkantoran. Terlihat Pram dan istrinya. Pram menggendong anak kecil yang sangat lucu. Mereka terlihat bahagia.
"Selamat, Marlena. Kamu telah mengorbankan hidupmu dan orang-orang yang mencintaimu untuk laki-laki yang kau cintai. Ehm..maaf. Maksudku, pernah kaucintai."
Kemudian kelebatan senyum tua papaku, belaian lembut mamaku, canda ria adikku, pelukan pengertian sahabat karibku, tawa teman-temanku, semua yang kutinggalkan demi mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak berharga.
"Kau boleh memilih. Mau melayaniku dan jiwamu terbelenggu padaku. Atau mau tetap tinggal di sini dan jiwamu terbelenggu pada dendammu?"
Dan aku memilih tinggal...
Sekararum
----------------------------------------------------------------------------------
Catatan penulis:
Cerita ini sebenarnya dulu pernah diterbitkan di Besok Siang pada 21 November 2012, dengan judul "Apa Yang Terjadi Jika". Pembaca lama pasti tahu. Tapi pas saya baca lagi, saya tertarik mengubahnya sedikit. Dari yang niatnya cuma sedikit, ternyata nuansa ceritanya jadi beda banget. Memang pastinya ada beda gaya penulisan antara Arum yang dulu dengan yang sekarang.
Karena cerita yang baru menurut saya lebih "kena", akhirnya saya hapus yang lama, dan yang ini saya upload ulang. Marlena adalah versi dhemit yang lebih modern dan kekotaan daripada Nurani. Diharapkan, mbak Mar atau Marlena akan memperkaya khasanah perhantuan Besok Siang.
Jadi Besok Siang tidak hanya dihantui oleh sosok mbak Nur atau Nurani.
Ucapkan salam kenal kepada mbak Mar di kolom komen ya. mbak Mar ini lebih usil dari mbak Nur. Bisa jadi kalau nggak dikomen, dia akan mengusilimu.
woah... mind blowing
BalasHapussukak....
Untuk bukan mind blowon. Tahi lalats :p
HapusGood feminism story..love it*,*
BalasHapusCeritanya Bagus mbak, ngena. Ditunggu cerita-cerita Bagus lainnya.
BalasHapusTerima kasih ;)
HapusKeren Mba Arum!! Sukaaaa <3
BalasHapusMaaciiihhh :3
HapusHai, Mbak Mar *wedi dikinthili Mbak Mar*
BalasHapusOke, setelah berhati-hari kumengintilimu, kini kau kulepaskan
HapusMaaf Mbak mar, tapi aku #TeamMbakNur
BalasHapusNggak papa. Nur itu temanku ~Mar
HapusHai mba Mar...
BalasHapusHai mba Nur...
Salam kenal 😊😊
Hai Dik Dew :)
Hapus