Tapi dijual di mana pun, coklat berhadiah kondom itu tidak baik ya. Mending berhadiah mobil atau pinsil alis saja. Lebih faedah.
Kalau beberapa teman saya kzl dengan status haram-haraman tersebut, saya sih malah biasa saja. Soalnya makna Valentine bagi saya hanyalah hari di mana saya bisa minta dinner rada kerenan sikit ke suami saya. Malah pas nggak ada yang mbleyer soal haramnya Valentine, saya agak merasa kehilangan. Apalah arti bulan Februari tanpa status-status Facebook mengenai haramnya Valentine? Ah...Valentine tahun ini rasanya jadi kurang berwarna.
Karena rasa kesepian menjelang hari Valentine, maka saya pun bertanya dan curhat. Bukan kok, bukan bertanya kepada bapak presiden dan kapolri. Dan bukan pula curhat kepada kak Emma. Saya cukup bertanya dan curhat kepada kak Momon saja. Kata kak Momon, Valentine tahun ini diabaikan gara-gara Pilkada DKI.
Maka saya pun kembali scrolling feeds Facebook saya, dengan lebih teliti. Dan ternyata saya memang salah! Ternyata Valentine kali ini bukannya tidak berwarna, cuma ganti warna saja. Yang biasanya berwarna pink, kali ini berwarna merah, putih, dan hitam. Dan pembahasannya pun lebih seru daripada sekedar haramnya makna dan perayaan Valentine. Pisuh-pisuhannya lebih beragam dan tabji. Mantab Jiwa.
Saya pun nggak mau kalah. Saya ikut menyuarakan pendapat saya melalui akun sosial media saya yang followernya ehm...10k ples ples.
Alhamdulillah teman-teman Facebook dan Instagram saya yang begitu mencintai hukum dan keadilan nggak ada yang rusuh menanggapi status saya. Padahal saya tahu betul, teman sosial media saya banyak sekali, dengan latar belakang suku dan agama yang berbeda-beda, dengan sifat yang berlainan, dan juga dengan pendapat yang beragam. Ini melegakan. Karena itu berarti teman-teman sosial media saya adalah tipikal orang yang bisa menghargai perbedaan pendapat. Saya nggak salah pilih temen.
Tapi lain di akun saya, lain di feeds. Di antara sibuknya kampanye dan pisuh-pisuhan, saya menemukan beberapa status seperti ini. Beberapa yah. Beberapa. Sekali lagi beberapa:
"Pilkada itu kan urusan pribadi. Pilihanmu tidak perlu diungkapkan kepada orang lain. Nggak usah nyetatus soal pilihanmu."
Iya, pilkada memang pilihan pribadi. Kita nyoblos sendiri tanpa paksaan dan nggak perlu takut karena orang lain nggak harus tahu apa pilihan kita. Tapi kalau kita sendiri nggak merasa keberatan ketika orang lain tahu pilihan kita, apakah juga salah?
Ini analoginya seperti makeup. Saya suka sekali mencoba-coba berbagai macam merek makeup. Dan ketika menemukan makeup yang bener-bener bagus, saya tentunya kepengen berbagi. Ya memang bukan kewajiban saya untuk berbagi, dan orang lain juga nggak harus tau kok pilihan bedak saya. Tapi kalau saya tetap ingin berbagi, memangnya dilarang agama dan negara?
Saya girang ketika ada pecinta makeup lain yang terbantu ketika saya berbagi. "Wah Dik Arum, review-mu sungguh brilian. Sejak pakai bedak rekomendasi Dik Arum, muka saya lebih putih." Rasa senang saya ini susah dijelaskan dengan kata-kata. Pokoknya saya senang saja kalau ada orang lain yang terhindar dari kesalahan memilih bedak gara-gara review saya.
Tapi ketika ada yang beda pendapat dan bilang, "Dik Arum, kalau menurut saya bedak toko sebelah lebih bagus. Memang sih bedak pilihan Dik Arum bikin putih, tapi bikin jerawatan." Ya sudah nggak papa juga. Lha wong gubernur...eh sori...bedak itu pilihan pribadi masing-masing kok. Jadi nggak perlu marah kalau ada yang pilihannya beda dan bilang kalau bedak pilihan kita jelek.
Yang salah itu kalau ada yang misuh-misuhi saya karena merek bedak saya ternyata beda sama bedaknya dia. Atau kalau saya misuh-misuh ketika ada yang nggak sependapat dengan saya. Jadi harusnya bukan saya yang dilarang untuk berbagi merek bedak idola. Yang dilarang itu adalah mereka-mereka yang menanggapi perbedaan dengan pisuhan.
Tapi memang sih ada beberapa orang yang nggak bisa menerima pendapat yang berbeda, dan menganggap bahwa diskusi, debat, dan mendengarkan pendapat orang lain itu tidak penting. Orang-orang macam ini contohnya adalah si Mukidi nomer 9. Padahal debat atau diskusi itu baik. Bisa membuat kita kritis dan mau mengungkapkan pendapat, sekaligus membuka wawasan dan belajar memahami pola pikir orang lain. Mengkritik dan dikritik itu bagus, asal disampaikan dan diterima dengan cara yang baik.
Dan permasalahan kesepian karena suami nggak pulang ini nggak bisa diadukan ke gubernur. Jadi ya saya dukung gubernur yang bisa mengatasi masalah kesepian saya dari akarnya, yaitu banjir.
Saya pilih pak Ahok karena saya pernah naik bis tingkat. Fasilitas kota yang satu ini gratis dan sangat nyaman. Meskipun tanggal tua, saya bisa berwisata keliling Jakarta bareng suami dan teman-teman saya, dengan bis tingkat yang nyaman dan ber-AC, cuma modal sedikit receh buat beli aqua dan gorengan.
Saya pilih pak Ahok karena ketika trotoar di depan rumah teman saya bolong, dan teman saya langsung mengadu pagi itu lewat aplikasi Qlue, siangnya trotoar langsung dibenerin. Teman saya nggak perlu khawatir berkepanjangan kalau-kalau anaknya yang masih balita terperosok ke lubang tersebut saat bermain sore-sore.
Saya pilih pak Ahok karena Momon sekarang jadi senang kalau harus dinas luar ke Jakarta. Katanya Jakarta sekarang lebih bersih, nggak pesing, dan piknikable. Kemana-mana juga mudah, bisa dengan trans Jakarta yang bagus dan ber-AC, yang sudah dilengkapi area khusus wanita. Momon nggak perlu khawatir tete-nya dicemek-cemek baik sengaja maupun tidak sengaja, ketika berdesakan di trans Jakarta #SaveTeteMomon. Oh, sekarang juga sudah sangat jarang ada pengendara motor atau mobil pribadi yang selonong boy ke jalur busway. Jadi naik trans Jakarta memang beneran lancar dan nggak kena macet.
Kebahagiaan Momon adalah kebahagiaan saya. Keapesan Momon adalah kebahagiaan saya juga.
Saya pilih pak Ahok karena kerjanya nyata. Karena saya percaya beliau bersih dan bisa memberantas korupsi. Termasuk korupsi waktu yang dilakukan oleh para pegawai pemerintahan. Saya sudah jarang mendengar berita PNS DKI yang nge-mall atau mburjo pas jam kantor. Jadi saya nggak ngerasa rugi bayar pajak, karena saya percaya uang yang saya berikan dikelola dengan tepat dan akan dipergunakan untuk kenyamanan dan kebutuhan saya sebagai rakyat.
Nggak papa, saya bisa pikirkan hiburan lain kok. Ngenyeki Momon misalnya.
Rakyat Besok Siang yang tidak baperan,
Dua hari lagi kita akan merayakan pesta demokrasi besar-besaran. Mari mantabkan hati dan jiwa untuk memilih apa yang terbaik untuk kita. Apapun pilihanmu, jangan golput plis. Jangan menyesal belakangan ketika ternyata kamu sadar bahwa suaramu berharga. Kayak warga Amerika yang sekarang menyesal karena membiarkan Trump menang.
Andai KTP ku DKI mbak *sigh*
BalasHapusApa daya, aku bantu doa aja
Mari kita berdoa :)
HapusSALAM DUA JARI KAK ARUM! sungguh aku mau yang nomer 3 menang terus aku mau rewel sama om anies nagih-nagih rumah cicilan 0% HAHAHAHAHHA
BalasHapusMasalah rumah tanpa dp dan kegantengan cawagub yang ono memang kadang menggetarkan hati yha. Buibu gemez DKI harus quath!! :))
HapusKak, yang jelas saya nggak mau sama paslon yang hobi ngapung ntuh..
BalasHapusTerapung dan terombang-ambing itu menyakitkan. Sekian.
Lebih baik Dik Momon curhat saja ke kak Emma :(
Hapus