Entrok: Tekad Kuat Seorang Perempuan di Era Orde Baru

Entrok Okky Madasari

Hai!

Wah, berdebu sekali ya blog ini! Ternyata sudah 5 tahun saya nggak menulis di blog Besok Siang. Walaupun sudah ganti presiden, status saya masih saja jomblo. Bukan sesuatu yang dapat dibanggakan karena memang tidak ada yang bisa dibanggakan di hidup saya, tapi juga bukan sesuatu yang perlu diratapi karena kemiskinan saya masih lebih pantas untuk diratapi. Jomblo, miskin, tidak punya sesuatu yang dibanggakan. Untung saya tidak tertarik untuk jadi wapres.

Di tengah suasana negara yang makin “panas” tapi bukan karena global warming melainkan karena mulai banyak kebijakan nyeleneh yang bikin masyarakat gerah, hobi lama kembali muncul. Ada dorongan untuk saya mulai lagi membaca buku biar saya nggak makin tholol dan gampang terpesona dengan laki-laki yang mengambil hati dengan cara joged gemoy. Dengan membaca buku, saya bisa memperluas wawasan, mengasah kemampuan imajinasi, dan melatih fokus saya. Novel fiksi pun dilahirkan oleh penulisanya berdasarkan riset dari dunia nyata atau bahkan berdasarkan pengalamannya pribadi. Jadi banyak hal yang dapat kita pelajari “hanya” dengan membaca buku. Paling tidak, bisa membuat saya yang tadinya tholol banget jadi tholol aja.

Saya pun mencari buku yang belum selesai saya baca. Agak bingung karena sekarang yang ada di rak buku saya sebagian besar diisi oleh komik. Memang wibu bau bawang nggak ada obatnya, nggak bisa disembuhkan. Akhirnya pilihan jatuh kepada Entrok yang ditulis oleh Okky Madasari karena desain sampulnya yang membuat penasaran, tapi saya lupa kenapa saya tidak membaca Entrok sampai selesai. Karena saya beneran lupa seperti apa ceritanya, jadi saya mulai membaca dari awal sampai akhirnya saya ingat kenapa novel ini tidak selesai saya baca.

Kenapa judulnya Entrok?

Novel ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Marni yang merupakan seorang perempuan Jawa yang miskin dan buta huruf, hidup berdua bersama dengan ibunya. Latar ceritanya ada di sebuah desa kecil bernama Singget antara tahun 1950 sampai 1999. Diceritakan bahwa sekitar tahun 1950an, entrok (yang artinya beha atau bra) merupakan barang mewah. Hanya orang kaya saja yang mampu membeli entrok. Orang miskin bagaimana? Ya payudaranya dibiarkan bebas gondal-gandul. Hal tersebut sudah menjadi hal yang wajar di masyarakat.

Marni yang kala itu masih remaja dan payudaranya mringkili mulai merasa tidak nyaman ketika berlari. Marni iri ketika melihat payudara sepupunya terlihat indah menyembul dari balik entrok. Marni meminta ibunya untuk membeli Entrok tapi ya orang miskin bisa makan setiap hari saja sudah bersyukur, tidak perlu punya keinginan yang neko-neko. Ibunya Marni merasa bahwa perempuan tidak memakai entrok pun tidak masalah.

Marni membulatkan tekad untuk mencari uang demi membeli entrok. Tapi bagaimana seorang perempuan remaja bisa mendapatkan uang? Marni mulai menjelajahi pasar yang merupakan pusat kehidupan dan roda ekonomi di desa Singget. Tekad Marni terbentur kenyataan bahwa pada zaman tersebut, perempuan tidak pernah diberi upah dalam bentuk uang ketika bekerja. Upah uang hanya untuk laki-laki, sedangkan perempuan diberi ubah berupa makanan. Orang-orang di pasar menertawakan Marni yang punya keinginan mendapatkan upah uang. "Perempuan tidak diberi upah uang karena memang begitu adanya, sudah kodrat," kata orang-orang di pasar. Tapi tekad Marni tidak berkurang, bahkan keinginannya untuk dapat membeli entrok menjadi lebih kuat.

Berawal dari keinginannya untuk bisa memakai entrok, Marni menjadi pekerja keras demi memiliki kehidupan yang lebih layak. Marni bahkan tidak terpengaruh dengan semua omongan negatif orang-orang di desa Singget karena semua yang dilakukan Marni memang tidak umum dilakukan oleh perempuan. Marni terus melakukan apa yang ingin dia lakukan selama hal itu tidak merugikan orang lain. Marni menikah kemudian mempunyai anak bernama Rahayu. Rahayu memiliki pemikiran yang berbeda dengan ibunya. Rahayu justru menganggap ibunya adalah seorang pendosa.

Melalui Entrok, Okky Madasari menggambarkan perjuangan perempuan di era Orde Baru. Perlu beberapa hari untuk saya dapat selesai membaca karena ada perasaan tidak nyaman ketika membaca, bahkan ketika saya selesai membaca pun masih menyisakan perasaan tidak nyaman. Okky Madasari banyak menggambarkan bagaimana interaksi sosial masyarakat dan kondisi pemerintahan di era Orde Baru di mana banyak parcok dan parjo yang menyalahgunakan wewenang. Gathel banget lah pokoknya! Membuat saya overthinking kondisi negara di era Neo Orde Baru.

Review buku
Bestie-ku Terlalu Berharap

Jalan ceritanya tidak bertele-tele dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Jujur saya kurang suka dengan buku yang bahasanya terlalu "nyastra" karena saya kan lemot ya, jadi ya lebih suka buku dengan bahasa yang ringan dan diksi yang familiar mudah dimengerti. Kalau kalian ingin membaca Entrok, bisa mencari di Google Playbook untuk bentuk digitalnya atau mencari preloved karena saya coba cari buku ini di toko buku Toga Mas dan Gramedia sudah tidak ada.

6 komentar:

  1. Waaah jadi penasaran sama bukunya pengen baca sampe selesai

    BalasHapus
  2. aku jd termotivasi ubtuk menyelesaikan buku bacaanku mba. semoga kita semua berhenti menjadi tholol banget ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semangat untuk jadi orang tholol aja iyyah

      Hapus
  3. Baru-baru ini juga ada yang seliweran baca Saman & Larung di linimasaku. Bikin jadi latah pengen baca lagi. Welkom bek kak Mon!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah aku juga baru kelar baca ulang Saman nih! Setelah ini lanjut Larung

      Hapus