Ini Dilanku. Mana Dilanmu?

sumber: viva.co.id

Saya masih terbawa euforia nostalgia setelah menonton film Dilan 1990. Saya adalah anak SMA di tahun 2000-an. Jadi masa ketika Dilan mbribik Milea, saya masih belajar mewarnai di bangku TK. Iya, zaman dulu pelajaran di TK adalah menggambar dan mewarnai. Bukan pelajaran komputer dan sains.

Tapi meskipun terpaut jarak 10 tahun, saya merasa situasi ketika saya SMA, jauh lebih mendekati situasi ketika Dilan SMA, ketimbang situasi masa SMA angkatan di bawah saya. Kalau dipikir-pikir, ya memang saya ini berada di masa peralihan kemajuan tekhnologi. Angkatan-angkatan di bawah saya sudah menikmati fasilitas smartphone dan internet cepat. Sedangkan kalau di angkatan saya, yang bawa handphone ke sekolah bisa dihitung pakai jari tangan kanan. Itupun handphone-nya ya masih Nokia 3310 yang bisa buat mathak asu itu.

Mau pakai internet? Ya ke Warnet, Warung Internet. Bayar tiga ribu rupiah per-jam. Mahal sih, soalnya uang saku saya dulu cuma sepuluh ribu untuk satu minggu, itupun sudah include uang transportasi naik bis ke sekolah dan juga uang buat pacaran kalau malem minggu. Tapi internet juga belum seasyik sekarang kok. Paling-paling kalau ke warnet juga cuma chating-an sama random pipol. Diawali dengan "ASL PLS", diakhiri dengan: "bagi foto tetek dong, cantik." Tsk.. Boring, kan?

Karena tekhnologi belum semaju sekarang, cara-cara kids jaman old PDKT pun juga tentunya berbeda dengan kids jaman now. Kalau mengutip kata Iqbaal Ramadhan saat ditanya mengenai perannya sebagai Dilan, "tahun 90-an itu adalah segalanya tentang nyali."

Ya memang betul. Nyali. Mengungkapkan cinta? Ya ungkapkan secara langsung. Nggak bisa bikin-bikin status no mention di twitter, atau kirim DM instagram ngajak kenalan. Kadang pakai surat yang dititip ke temen dekat. Kalau apes dapet temen dekat yang ngasu sekali, surat cinta gombal yang kita titipkan malah ditempel di dinding mading dan dibaca satu sekolahan. Mau ngobrol di telfon juga bisa, tapi pakai telfon rumah. Kalau yang ngangkat bapaknya langsung ndrodogi keringat dingin.

Menurut saya, tokoh dalam suatu cerita itu bisa membuat penikmat terkintil-kintil karena dua hal. Yang pertama: karena bikin halu. Ini contohnya adalah Mas Fahri. Di luar hobi menikahnya, mas Fahri ini nyaris sempurna. Gantheng, cerdas, sopan, soleh, lulusan mesir, dan wakil ketua DPR petahana. Saat menonton Ayat-Ayat Cinta, perempuan mana sih yang nggak halu ingin menjadi istri mas Fahri? Dengan situasi dan kondisi yang sudah disempurnakan ya tentunya, alias mas Fahri-nya tidak berpoligami.

Nah, yang kedua adalah karena tokoh tersebut related dengan kehidupan kita. Dan saya harus bilang kalau Dilan ini related dengan kehidupan saya ketika SMA, dan kehidupan banyak rakyat Besok Siang yang rata-rata sudah tidak muda lagi mengaku sajalah bunda. Mungkin banyak kids jaman now yang terjijik-jijik: "iuuhh siapa coba yang mau digombali norak begitu?" Tapi ketahuilah wahai kids jaman now, zaman sebelum smartphone dan internet adalah zaman gombal. Dan gombalan Dilan di film itu, meski terasa wagu di zaman sekarang, namun merupakan sebuah realita di masa lalu saat peradaban masih sepi. Sepi karena belum ada Instagram, Facebook, dan Twitter (Tidak menyebut Path karena sebentar lagi bangkrut).

Di zaman gombal seperti itu, tentunya banyak bermunculan Dilan-Dilan dalam versinya masing-masing. Dilan yang jadi idola karena kemampuannya memproduksi kata-kata gombal, dan nyalinya untuk menyampaikan kata-kata tersebut ke (banyak) wanita pujaan hati. Pada zaman itu sih, tampang tak terlalu jadi hitungan. Gombalan lebih memegang peranan penting. Mau mukanya seremuk apa, asalkan lambene lamis dan pandai menggombal, pasti gampang sekali punya yank sing ayune meblok-meblok.

Saya pernah menjadi Milea (alias korban gombalan) pada zaman SMA, versi saya sendiri tentunya. Pacar saya zaman SMA juga berandalan seperti Dilan, dan sumpah gombal mukiyo sekali. Sebut saja dia Mukidi. Bedanya dengan Dilan, ya Mukidi ini pekok sih. Dilan itu kan nakal tapi sumbut, ranking 1 terus di sekolahnya. Kalau Mukidi ini nakal tapi pekok, dua kali tidak naik kelas. Tapi dia tidak bodoh ya, cuma kesed. Kecerdasannya bukan kecerdasan akademik, itu saja.

Dilan saya ini nggak satu sekolah dengan saya, tapi sekolahnya berada tepat di seberang jalan sekolah saya. Dan saya sungguh nggak masalah punya pacar tukang gelut, malah seneng lah, nggak ada yang berani gangguin saya. Tapi saya bermasalah sama ke-kesed-annya. Jadi, kalau Milea punya tantangan untuk mencegah Dilan tawuran, tantangan saya ketika itu adalah membuat Mukidi tidak membolos dan mau nggarap PR, dan itu susah setengah mati.

Tapi ada satu yang dilupakan oleh penulis cerita Dilan, bahwa pria bermulut gombal itu biasanya satu paket dengan playboy. Nggak semua sih, tapi setidaknya kebanyakan begitu. Dan Mukidi saya adalah golongan manusia kebanyakan. Hubungan kami bubar karena dia terindikasi punya good friend di sekolahnya. Bahkan saya ingat, sahabat saya sendiri saja juga pernah nyaris diembat sama dia.

Bukan cuma di SMA saya, di SMA Momon pun juga ada Dilan, kita sebut saja Dilan di SMA Momon ini Mukidi juga. Besok Siang memang kurang kreatif bila disuruh mencari nama. Mukidi yang ini tampan sekali. Turunan Arab dan hidungnya bangir, serta jadi idola di kalangan adik-adik kelas. Setiap hari ada saja adik kelas yang ke kelas Momon untuk memberikan coklat, kue, sampai batagor. Yang senang tentu teman-teman sekelasnya, karena Mukidi tidak mungkin memakan itu semua. Ya Mukidi kan harus berdiet agar ketampanannya senantiasa terjaga.

Momon dan teman-teman seangkatan, apakah ada yang naksir? Ooohh, tidak! Ternyata Mukidi ini kalau mangap kelihatan pah-poh-nya. Tidak seperti Dilan yang menggombal pun terlihat cerdas, Mukidi yang ini terlihat sekali otaknya kurang sesendok. Tapi biar bagaimana pun, dia tetaplah Dilan pada masanya. Di mata adik-adik kelas, Mukidi ini gantheng dan membuat hati klepek-klepek.

Mukidi ini sepertinya paham betul bahwa pesona bacotan-nya hanya mempan untuk adik kelas. Ketika Momon yang merupakan kawan seangkatannya meneriaki, "WUUHH MAS MUKIDI TAMPAN SEKALI HIDUNGNYA MBANGIR!" Alih-alih mendekati Momon dan kemudian menggombal, Mukidi ini malah minggat terbirit-birit. Gilo sepertinya.

Kawan-kawan seangkatannya, walau menyukuri setiap bungkus batagor yang dikirimkan ke kelas setiap hari, namun tak luput juga sering berghibah, "kok bisa ya naksir Mukidi yang pah-poh begitu? Jangan-jangan adik-adik kelas kita ini berimajinasi kalau Mukidi tytyd-nya besar?"

Oke, Dilan terahir saya temukan pada masa kuliah saya. Dan kebetulan saya berteman dekat sekali dengannya. Bukan ala-ala "good friend"-nya bu Vero ya, tapi bener-bener berteman. Satu genk. Bro banget! Saya sendiri semasa kuliah pacaran dengan temannya si Dilan (perihal mantan saya yang ini tidak akan saya ceritakan saat ini, mungkin lain waktu).


Dilan yang satu ini, mukanya adalah selera cewek-cewek pada zaman saya kuliah dulu, meskipun sungguh bukan selera saya. Yang saya tahu, dia lumayan gombal, walau gombalannya lebih modern dari Dilan 1990. Lebih alus, tidak kentara, dan menikung tajam gitu lho. Sayangnya, Dilan yang ini cukup tahu bahwa dia adalah idola wanita. Jadi ya gas pol rem blong gitu deh pepet sana pepet sini. Entah sudah berapa wanita yang digombali dan dipacarinya. Saya jadi saksi kok atas segala aksi lap teles-nya.

Cukup mengesalkan sebenarnya berteman dekat dengan Dilan pada masanya. Sayangnya sepanjang masa perkuliahan, bahkan sampai 3 tahun setelah lulus, saya dan dia berteman dekat. Selama jadi temannya, kerjaan saya adalah dititipi salam dan dijadikan alat oleh para wanita untuk mendekati teman saya itu. Kadang-kadang menyenangkan sih, karena saya bisa bacain surat-surat gombal dari penggemar teman saya tersebut. Apalagi kalau ada yang titip salam disertai dengan coklat. Wooh, dijamin sampai! Salamnya saja. Coklatnya tidak. Tapi ya kesal juga kadang-kadang. Saya ini kan bukan tukang pos, Mblo!

Dilan ini kebetulan fakultasnya beda dengan saya. Tapi kegombalannya sepertinya memang sudah lintas batas fakultas. Sudah jadi makanan sehari-hari saya, bila genk cewek-cewek yang sekelas dengan saya membicarakan teman saya tersebut dengan nada halu dan memuja, untuk mengisi waktu saat menunggu dosen tiba. Saya cuma bisa mendengarkan dari jauh sambil menguap dan memutar mata.

Lalu bagaimana nasib para Dilan tersebut sekarang? Dilan pertama, mantan pacar saya waktu SMA setahu saya sudah mapan sekarang. Tidak merantau dan memilih membuka usaha sendiri di kota kami dulu. Dia belum menikah, dan menurut pengamatan saya sih sudah tidak bandel lagi. Lebih bertanggung jawab gitu sama hidupnya. Saya masih sesekali bertukar kabar dengannya via facebook. Kalau mudik saya juga kadang bertemu dia. Sebelum saya menikah, pertemanan wajar kami sering disalahartikan sebagai "tidak bisa move-on" oleh teman-teman dekat saya.

Untuk Dilan kedua, Momon menunjukkan sosial medianya kepada saya. Tetap tampan rupawan dengan hidungnya yang bangir sekali itu. Tapi wajahnya sekarang lebih teduh dan lebih tak uu'. Mungkin juga sudah tidak pah-poh. Sekarang dia sudah punya istri. Istrinya berjilbab, cantik sekali, dan sedang hamil. Kehidupannya juga sudah mapan. Dan walau tidak kenal, saya bisa menjamin bahwa tidak pernah ada yang mengirimkan batagor ke rumah mereka sekarang.

Dilan ketiga, sekarang jadi suami saya. Oke, trims! Salam lap teles.

Ini Dilanku, mana Dilanmu?

28 komentar:

  1. hahahahah...endinge ki lho :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketahuilah ini kisah nyata dari korban lap teles #pijetpijetrai

      Hapus
  2. Hahaha jebul.... Ending e klimaks...

    BalasHapus
  3. Dilanku yang kemarin lagi stress ka. Ipk baru keluar dan ip semester ini dia 0,8. Parah banget. Dilan yang ini semua temenku ga suka, dan mama juga ga setuju karena dia gondrong dan ga sopan. Jadi, aku pacaran sama sahabatnya aja ka. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, apakah ini sebuah pengakuan bahwa kamu sebenarnya menyintai Dilan yang adalah sahabatnya pacarmu? Sini, kasih akun instagram atau nomer WA pacarmu..

      Hapus
  4. HAHAHAHAHA... endingnya bikin balik lagi baca keatas, yang mana tuh dilan ke-3..

    BalasHapus
  5. bubumenik2/02/2018

    mbaa arum apik banget ki tulisan ee..

    BalasHapus
  6. kusampai terkejut membaca kisah akhirnya.

    BalasHapus
  7. Aku googling lho, 'halu' iku opo sih wkwkwkw ternyata halusinasi :))

    BalasHapus
  8. Endingnya sudah kuduga mba'e, hihihi, lg baca dilan ketiga kok tetiba inget mba pernah nulis ttg bojo mba, tp bukan di blog ini, kayanya blog racun atau blog yg atunya lg

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah kapankah itu? Masa sih? Kayaknya kok belum pernah ya

      Hapus
  9. kalo baca tulisan mba arum itu harus jadi anak gaul bet biar ngga puyeng sama bahasa-bahasa anehnya -_-, suka kezel pas baca lagi seru-seru tapi ada kata yang tydac bisa dimengerti dan harus googling huft -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah padahal bisa langsung ditanyakan di kolom komen agar tidak puyeng :D

      Hapus
  10. Kelamaan mba kalo nanya dikolom komentar. Ngga seru. Lebih cepet googling hohoho

    BalasHapus
  11. Salam kenal Mbak, setidaknya happy ending ya sama Dilan terakhir =)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama Dilan terakhir tyda pernah ada kisah di masa lalu jadi ya tyda bisa dibilang ending :D

      Hapus
  12. endingnya epic hahahaaa ternyata oh ternyata :))
    aku bukan generasi jaman now, Dilan SMA aku SD hahahaa *ketauan kan umurnya tapi aku ga suka di gombalin kayak Dilan ke Milea itu, entah kenapa aku merasa kok si Dilan ini kayak kurang serius menghadapi hidup *anaknya serius wkwkwkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentu saja tyda serius ses. Kan anak SMA. Kalau serius2 serem amat :D

      Hapus
    2. Aku SMA pernah diseriusin kok.




      Serius dimainin.

      Hapus
    3. 😂😂😂 mksdnya dia tuh becandaaaa mulu, lg serius juga dia mah becanda. Btw kl lihat Milea kayaknya bahsa Dilan mulu, sepertinya dia cinta mati sama Dilan, ealah putusnya begitu doank, pacarannya juga bentaran, kirain bakal ada masalah pelik yg bikin mereka putus gitu ☺️

      Hapus
    4. Hmm...menurutku yang suda baca ketiga novelnya, ini memang bukan tentang cinta mati dan cinta sejati sih ses. Tapi tentang Milea sebagai seorang tante2 seusia ((kita)), yang sedang mengenang manisnya digombalin semasa SMA. Dan penulisnya sepertinya kepingin membuat ceritanya serealistis mungkin. Dimana anak SMA kan labil ya, dikit2 putus kadang putus-nyambung. Jarang biyanget kan anak SMA awet pacaran mpe nikah, atau menunggu puluhan purnama cem Cinta-Rangga (walaupun pasti ada juga sih yang beruntung bisa nikah sama cinta masa SMA). Intinya sih membaca dari kacamata anak SMA. Bukan sebagai kisah percintaan dewasa yang mikirin bibit, bobot, bebet gitu.

      Hapus
  13. Endingnya tak terduga 😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentu saja. Kalau sudah ketahuan endingnya pasti tyda menarik dibaca.

      Hapus