Upacara Dulu, Sambat Belakangan!

sumber: goodnewsfromindonesia.id

Saya itu sejatinya adalah tukang sambat (mengeluh).

Apa-apa tak sambati. Sumuk sambat. Dingin sambat. Nggak ada duit sambat. Banyak kerjaan juga sambat. Kucing nggak mau makan sambat. Kucing minta makan terus sambat. Nggak sambatnya cuma kalau sedang kaya raya tanpa bekerja. Yang mana jarang.

Waktu saya masih tinggal di Jogja sebelum menikah itu, saya sambat soal Jogja. Bosen lah. Sepuluh tahun sudah saya tinggal di Jogja. Lalu saya menikah dan pindah ke Jakarta, ya saya sambat lagi soal Jakarta. Macet, panas, orang-orangnya emosian, kemana-mana jauh, apa-apa mahal.

Lalu setelah lima tahun saya pindah ke Jogja lagi. Suami saya bilang begini: "Mungkin memang kamu harus ngerasain tinggal di Jakarta kemarin itu. Agar bisa lebih bersyukur dan tidak sombat-sambat mengenai Jogja." Saya mengiyakan.

Tapi tidak lama berselang, saya segera menemukan lagi hal-hal yang bisa saya sambati di Jogja. Mulai dari kebiasaan orang-orang Jogja, sampai mbak-mbak server warung makan Padang saja saya sambati. Sepertinya yang bermasalah memang bukan Jogja atau Jakarta-nya, tapi mental saya. Padahal saya itu ya menikmati tinggal di Jogja. Setiap hari makan enak, jajan makeup murahan, kongkow-kongkow, dan mengikuti irama Jogja yang santai. Mental sambat.

Itulah mengapa saya membuat blog Besok Siang ini. Lha daripada saya sambatan di konten berbayar di blog sebelah atau web yang itu, tha? Atau daripada saya iyik sama semua teman-teman saya, WA saya ajak sambatan pendak byar (setiap waktu)? Kan lebih baik membikin sebuah ruang sambatan.

Nah, saya kalau melihat orang-orang yang sukanya marah-marah di facebook menyalah-nyalahkan pemerintah atau presiden itu, rasanya seperti berkaca. Itukan kayak saya ya, yang menikmati indahnya hidup di Jogja, tapi tetep sambat aja. Sambat lho, yha. Bukan mengkritik. Mengkritik mah demi kemajuan. Kalau sambat ya hanya demi pamer untumu (gigimu). Apalagi menjelang pilpres begini. Wuih, kaca dimana-mana. Banyak orang sambatan, mulai dari harga bensin naik sampai invasi kerajaan ubur-ubur juga disambati. Dan semua itu salah presiden.

Dulu sih saya bisa bilang, unfollow atau block aja lah. Tapi kalau sekarang, mau block kok sayatu seperti melihat kaca. Seperti mau nge-block diri saya sendiri. Sebagus apapun pemerintahannya, ya memang dasarnya rakyatnya tukang sambat, lha meh piye maneh (mau bagaimana lagi)? Kalau dipikir-pikir nih, sesecapres itu mau milih cawapres siapapun juga, menurut saya tetep aja akan ada golongan-golongan yang sambat dan golput.

Apa harus semua rakyat dikirim ke Bikini Bottom, atau dikirim balik ke jaman penjajahan Jepang, agar bisa lebih bersyukur dan tidak sombat-sambat mengenai Indonesia masa kini? #2019GantiRakyat wae, piye?

Sudah, upacara dulu sana!

*Sambat tidak sama dengan kritik. Sambat itu yo muk nyangkem njelehi saja tanpa solusinya.

6 komentar:

  1. mungkin mba Arum bakal buka Ruang Sambat Online yang proyeknya milyaran ?
    Tolong kabari klo buka.. akooh juga maw join bersambat ria setitik
    Salam dari Bali, fans mu paling mmhhh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho ya ini kan ruang sambat online. Kan berkali-kali diberitahu kalau boleh mengirim sraft ke blogbesoksiang@gmail.com.

      Hapus
  2. nanti akan menysul #2019gantinegara hahaha makin aneh2 aja sih hesteknya

    BalasHapus
  3. Saya fokes pada kalimat yang bunyinya kira-kira "Setelah 5 tahun tinggal di Jakarta, pindah lagi ke Jogja". Padahal saya mengikuti mbak Arum semenjak masih di Jogja, lalu pindah Jakarta, lalu njogja lagi. Lama ya saya mengintilimu, mbak Rum?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah lama sekali, wahai kamu tukang kinthil.

      Hapus