Sudah lama aku berdiri di sini, di bawah pohon mangga ini, di
halaman samping rumah mungil yang menua. Mataku tajam menatap jendela kecil yang langsung mengarah ke sebuah kamar. Pikiranku terpatri tak bisa teralihkan,
sekeras apapun aku mencoba memikirkan hal lainnya.
Yang kurasakan hanyalah amarah dan kesedihan. Yang kurasakan
hanyalah ketersiksaan. Berkali-kali hati nuraniku mengingatkan untuk melupakan
segala dendam, untuk berserah saja kepada yang Maha Mengerti. Tapi mana bisa?
Siapakah yang bisa memaafkan setelah disakiti sedemikian dalam? Siapakah yang bisa berserah dan
membiarkan dia yang menyakiti kita berbahagia?
Mengapa aku bisa berada disini, akan kukisahkan.
Akan kukisahkan, dari awal mula, hingga aku berada disini.
Akan kukisahkan, dari awal mula, hingga aku berada disini.
***
Kisah ini berawal dari sebuah desa di pinggiran kota Solo.
Di desa inilah aku dilahirkan. Bapakku seorang petani, dan simbokku seorang ibu
rumah tangga. Janganlah membayangkan Bapak mempunyai sawah berhektar-hektar.
Bapak tidak punya sawah. Bapak hanya diupah untuk menggarap sawah milih Pak
Kerto, Juragan lemah di desa kami.
Kata orang, kami ini miskin. Tapi kami sesungguhnya
berkecukupan. Keluarga kami cukup makan dan berkelimpahan kasih sayang. Aku
juga bisa sekolah sampai tamat SMP, meski tidak bisa membeli sepatu dan
seragam baru seperti teman-teman yang lain. Tapi aku berkecukupan. Aku bahagia dan disayang.
Banyak orang bilang wajahku sangat cantik. Badanku juga
sangat indah. Maklum, Simbok juga sangat cantik kala muda. Kabarnya sebelum bertemu
dengan Bapak, Simbok sudah dipinang oleh banyak orang. Beberapa orang kaya.
Bahkan ada satu orang kota yang katanya pejabat, meminang Simbok untuk
dijadikan istri keduanya. Tapi Simbok menolak semuanya. “Simbok hanya mau
laki-laki penyayang, harta bukan ukuran,” katanya. Dan akhirnya Simbok bertemu
Bapak.
Duh, Simbokku. Akupun ingin sepertimu. Membangun keluarga bersama laki-laki penyayang pilihanku.
Duh, Simbokku. Akupun ingin sepertimu. Membangun keluarga bersama laki-laki penyayang pilihanku.
Usiaku 18 tahun saat itu. Kecantikanku semakin nyata terlihat,
semakin mirip dengan Simbok sewaktu muda. Para pemuda dan duda desa ini dan
desa tetangga meminangku. Tua ataupun muda, miskin ataupun kaya, semua terpukau
pada kecantikanku. Tapi aku tidak mau. Sama seperti Simbok, aku pun ingin
menunggu laki-laki penyayangku.
Sampai pada suatu waktu, bertemulah aku dengan mas Arda.
Pertemuan pertama kami adalah di pematang sawah, ketika aku menghantarkan
rantang nasi putih dan sayur lodeh masakan Simbok untuk Bapak. Mas Arda yang tampan
dan dengan gayanya yang sangat modern khas orang kota. Mas Arda yang mahasiswa, yang sedang KKN di desa kami.
Awalnya aku biasa saja, karena aku tahu mahasiswa kota tak
kan mungkin melirik perempuan udik yang hanya tamat SMP sepertiku. Di sini aku
cantik. Tapi di kota pasti banyak sekali perempuan yang lebih cantik. Sampai saat kami bertemu pandang, mas Arda tersenyum.
Sorenya mas Arda datang bertamu ke rumahku. Keluargaku
menyambut ramah, menyuguhkan pisang goreng dan ubi madu. Mas Arda yang orang
kota ternyata sangat menyukai ubi madu, “enak sekali. Di kota jarang ada."
Mas Arda berkata kepada Bapak dan Simbok, bahwa dia ingin berdekatan
denganku. Tingkahnya sopan, tutur katanya halus, wajahnya tampan. Simbok senang. Bapak mengizinkan.
“Nak Arda boleh berteman dengan Nurani,” kata Bapakku.
***
Mulai sejak itu, aku dan mas Arda sering keluar bersama. Atas seizin
Bapak tentunya. Mas Arda suka memotret dengan kamera besar yang dibawanya kemana-mana. Sering aku difotonya diam-diam.
Favoritku adalah foto ketika aku berdiri di tengah lapangan yang menghijau dengan rok panjangku yang berkibar-kibar.
Mas Arda memberikan cetaknya kepadaku. Sering kupandangi diam-diam.
Mas Arda bilang aku cantik sekali. “Ah, mas Arda gombal. Di
kota pasti banyak yang lebih cantik,” kataku. “Nggak ada yang secantik kamu, Nurani.” Dan oleh ucapannya itu aku terbuai. Bibirku diciumnya. Dadaku
berdebar-debar. Dan seperti ada ribuan kupu-kupu di dalam perutku.
Aku menunduk malu. Mas Arda meraih tanganku. Kami sama-sama
tersipu.
***
Semakin hari, kami semakin dekat. Sering aku diam-diam
menyelinap keluar rumah kala malam tiba, hanya untuk ke tepi sungai bersama mas Arda.
Di bebatuan yang besar-besar kami duduk diam memandangi berjuta bintang-bintang di langit malam. Seringkali
kepalaku menyender ke bahunya. Dan sesering itu pula mas Arda mengelus
rambutku, mencium bibir dan juga leherku.
Pernah di suatu malam aku bertanya, “kenapa aku ndak pernah
dikenalin sama teman-teman mas Arda yang lain?”. Dan mas Arda menjawab, “Aku
nggak ingin berbagi kamu, Nurani.” Aku tersenyum dalam dekapannya. Aku tak peduli
walau dunia tak tahu. Yang penting aku tahu bahwa mas Arda
mencintaiku.
Sampai tiba saatnya mas Arda harus pulang. Masa KKN tiga bulan usai
sudah. Malam itu aku menangis dalam dekapannya. Kami berciuman dan saling
mengelus sampai pagi. “Aku nggak akan pernah melupakan kamu, Nurani,” janjinya
kepadaku. Yang kuamini dengan tulus dan lugu.
Paginya mas Arda berpamitan kepada Bapak dan Simbok. Aku
masih menangis di bilik kamarku. Ketika mas Arda sudah berjalan keluar rumahku,
aku pun menyelinap keluar, menghambur ke pelukannya. Masih menangis. Mas Arda
mendekapku.
Lalu Mas Arda Berlalu.
***
Malam demi malam berlalu. Aku menunggu dengan sabar kabar
dari mas Arda, yang tak kunjung datang. Hari demi hari berlalu, perutku semakin
membuncit.
“Nur si kembang desa anakke pak Jarwo itu ternyata lonthe!” Begitu sering dibisikan dari mulut ke mulut. “Meteng ra ono lanangane, wedokan ra nduwe isin. Mesakake Bapak Simboke.”
Simbok menangisiku siang malam. Bapak hanya sesekali
memandangku dengan sorot mata tua yang kecewa. Tapi mereka tetap mengelus
rambutku, tetap menyuruhku makan, memijit kakiku kalau aku lelah dan mual.
Walau tetangga-tetangga mulai menjauhi kami, aku tahu Bapak dan Simbok sangat
menyayangiku.
Aku sedih sekali. Tidak rela rasanya Bapak dan Simbok ikut
dicaci. Akupun berbicara kepada Bapak, “Pak, aku mau ke kota.”
“Ndak usah, nduk. Kalau dia tresno kowe, dia yang akan datang kesini.”
“Kowe nang kene wae,
ngancani Bapak Simbokmu. Manuto, Nduk,” timpal Simbok.
Begitu terus. Sampai suatu ketika aku sudah muak terhadap
cacian tetangga terhadap Bapak dan Simbok. Aku mengendap pergi. Membawa
sebuntelan kain berisi uang sekedarnya, sisir, pupur, baju-bajuku, dan selembar
foto diriku di tengah lapangan dengan rok panjang berkibar yang diambil oleh mas Arda dikala dulu. Aku berjalan sangat jauh dan kemudian naik bus,
menuju kota tempat mas Arda tinggal.
***
Perempuan desa yang sedang hamil dan kebingungan, begitu mungkin orang kota
melihatku. Aku mencari kesana-kemari. Aku tidak mau pulang sebelum bertemu dengan mas
Arda. Aku tidak mau melihat Bapak dan Simbokku bersedih lagi. Aku tidak punya alamat
tujuan. Lamat-lamat yang kuingat hanya nama kampus mas Arda.
Bertanyalah aku kesana-kemari.
Dan sampailah aku di kampus mas Arda. Nasib mempertemukan
kami di gerbang kampusnya. Mas Arda dengan motor lanang-nya, memboncengkan
seorang perempuan kota yang cantik dan bercelana panjang sangat ketat.
Perempuan kota itu melingkarkan tangan ramping berjam tangan besarnya ke perut
mas Ardaku. Sekali lagi, untuk pertama kali setelah sekian lama, kami bertemu
pandang. Tapi tak ada senyuman di bibir kekasihku itu.
Aku berteriak, “Mas Ardaaa!!!!!”
Perempuan yang membonceng mas Arda menoleh. Dan motorpun
berhenti. Perempuan itu turun, dan menghampiri aku, disusul mas Arda dengan
motor lanang-nya.
“Siapa kamu?” Tanya perempuan itu.
Tolong katakan, mampukah seorang perempuan menjawab
pertanyaan semacam itu? Aku hanya menangis sambil memegangi perutku. Mas Arda
terdiam, sambil memandangi arah lain.
“Siapa dia, Yang? Saudara kamu?” Perempuan itu semakin
gusar.
Mas Arda mengambil dompetnya, kemudian menjejalkan
berlembar-lembar uang ketanganku. “Pulanglah,” katanya. Lalu mas Arda berlalu bersama perempuan kota yang gusar itu.
Hancur sudah impianku untuk membangun keluarga bersama laki-laki penyayang pilihanku, seperti simbokku dulu. Hancur sudah harapanku untuk mengembalikan harga diri keluargaku. Aku berjalan tak tentu arah di kota yang ramai dan asing ini.
Hancur sudah impianku untuk membangun keluarga bersama laki-laki penyayang pilihanku, seperti simbokku dulu. Hancur sudah harapanku untuk mengembalikan harga diri keluargaku. Aku berjalan tak tentu arah di kota yang ramai dan asing ini.
Apa yang harus kulakukan?
***
Malam semakin larut di kota asing ini. Aku tak tahu lagi harus
berbuat apa.
Terdengar siulan beberapa orang laki-laki. Aku menoleh.
Mereka tersenyum. Bukan senyum
seperti senyum Bapak menerima rantangku. Bukan senyum seperti senyum Simbok menyambut Bapak pulang. Bukan itu. Senyum ini mengerikan.
Lebih baik mereka tidak tersenyum. Lebih baik mas Arda tidak tersenyum dikala dulu...
Aku berjongkok dan memejamkan mata menanti kedatangan mereka
yang tinggal sejengkalan. “Tolong, bila memang ini harus terjadi,
matikan rasa di setiap sendi tubuh dan hatiku.”
Aku hanya ingin bertemu dengan mas Arda. Bila ini bayarannya, pertemukan aku dengan mas Arda setelah ini.
Aku hanya ingin bertemu dengan mas Arda. Bila ini bayarannya, pertemukan aku dengan mas Arda setelah ini.
***
Entah berapa jam, hari, atau tahun berselang kemudian. Aku membuka mataku.
Terbangun di halaman rumah kecil, dengan pohon mangga disamping. Aku
berkeliling. Kuputuskan untuk mengetuk pintu rumah. Pintu dibuka, oleh seorang
laki-laki tua yang mirip mas Arda. Ah..inilah Bapak orang yang kucintai. Ternyata ini rumah mas Arda. Terima kasih
telah membawa aku kesini.
Lelaki tua itu menutup lagi pintu rumahnya. Aku mengetuk
lagi. Kujatuhkan foto diriku. Lelaki tua itu membukanya lagi. Menoleh ke kanan
dan ke kiri. Memungut fotoku. Kemudian menutup pintu lagi.
Aku berkeliling rumah. Jendela di samping pohon mangga itu terbuka. Aku berlari kecil mendekatinya. Ada Mas Arda di dalam kamar sedang berbincang dengan Bapaknya. “Aku menemukan foto ini di depan rumah. Foto yang bagus, perempuan yang sangat cantik,” kata Bapaknya. Mas Arda hanya tertegun melihat foto itu.
Aku berkeliling rumah. Jendela di samping pohon mangga itu terbuka. Aku berlari kecil mendekatinya. Ada Mas Arda di dalam kamar sedang berbincang dengan Bapaknya. “Aku menemukan foto ini di depan rumah. Foto yang bagus, perempuan yang sangat cantik,” kata Bapaknya. Mas Arda hanya tertegun melihat foto itu.
Kuketuk pelan jendela kacanya, mas Arda menoleh, aku tersenyum. Mas
Arda menunjukku dengan mata melotot, kemudian pingsan.
Badan mas Arda panas sekali. Gemetaran. Bapak dan Ibunya
bergantian menjaganya. Aku pun ikut menjaganya. Setiap dia membuka mata, kudekati
wajahnya dan tersenyum di depan mukanya. Dan dia akan berteriak-teriak lagi.
Aku sungguh tak mengerti. Tapi yang aku senang, dia meneriakkan namaku, “maafkan
aku, Nurani. Maafkan aku, Nurani!!”
Begitu terus selama berbulan-bulan. Sampai kemudian mas Arda
mencakar matanya sendiri, dan keluarganya membawanya ke rumah sakit jiwa. Kala
itu sekilas kupandang wajahku dari spion ambulance yang membawa mas Arda. Wajahku begitu mengerikan. Sangat pucat tanpa darah, tanpa daging, penuh memar dan
air mata. Senyumku pun seperti seringai tak wajar. Sungguh amarah dan dendam telah menggerogoti wujud cantikku.
Entah bagaimana semua orang tak bisa melihatku. Hanya mas Arda seorang yang bisa melihatku. Karena hanya mas Arda-lah satu-satunya cintaku. Di hidup dan matiku.
***
Demikianlah ceritanya, mengapa setelah 30 tahun berselang, aku masih saja bertahan di bawah pohon mangga ini, di halaman rumah yang semakin menua.
Tapi aku begitu kesepian. Tanpa teman di dunia ini. Dunia yang rasanya begitu asing dan hampa. Seakan bukan disinilah tempatku. Tapi mau pergipun aku tak bisa, karena rasa marah masih pekat di dadaku. Untuk mengusir sepi di malam yang gelap, sesekali aku
menyenandungkan lagu yang membuat orang-orang baru tak ada yang mau menempati
rumah ini:
Ayo mati kekasihku
Lekaslah mati, bunuh diri.
Lekaslah mati, bunuh diri.
Agar kita jumpa lagi..
untung bacanya siang hari T_____T
BalasHapusSiang ataupun malam, Nurani tetap ada di sisi...
Hapuswhaa medeni mba.. untung bukan film, jempol dah
BalasHapusKayaknya kalau dibikin film malah ndak medeni :D
HapusBagus banget, Mbak. Aku suka gaya tulisannya :D
BalasHapusTerima kasih :D
Hapuskesian nurani.. aku pun sedih baca nya..
BalasHapusIya sedih banget :'(
Hapusmba aku masih bingung deh, jadi sebenernya nurani matinya kenapa mba ?
BalasHapusBiar nanti malam dijawab sendiri ya sama Nurani.
HapusPastikan jam 2 pagi ini kamu sudah tidur :)
Merinding... Tapi kasihan Nurani... Semoga tidak ada lagi Nurani-Nurani lain yaa 😰
BalasHapusIya semoga nggak ada gondes2lucknut lagi di dunia ini :(
HapusMbak Aruuuumm,,,, seyeeemmmm ceritanya >.<
BalasHapushabis baca ceritanya Lastri Bangkit Kak Momon, nemu link Nurani,
habis zonk jadi ziiiing serem
Mantaaap lah !
kasian Nurani :'(
Kamu cerdas! Baca Besok Siang memang harus secara keseluruhan :))
Hapusromance horor
BalasHapuskeren mb awaly terenyuh sedih dg nurani kebawah merinding gak sabar nunggu nurani kedua mb ��
Baca mundur ke tulisan mbk tahun 2017, mengingatkanku kembali akan lagu itu.. seketika membawaku kembali ke kisah2 horor SMA..
BalasHapus