“Yan, sini jempolmu aku injak, biar kamu juga bisa ‘dapet’
kayak kita-kita!” kata Yinna teman sebangkunya.
“Tidak mau,” Dayana menolak dengan singkat.
Meski teman-temannya sangat gembira dan antusias dengan
pembicaraan hal Menstruasi itu, gagasan mengeluarkan darah dari vagina bukanlah
hal yang menarik bagi Dayana. Baginya, mengeluarkan darah dari vagina adalah
hal yang menjijikan. Menurut Dayana, kenapa cuma berdarah begitu saja harus pakai
pembalut? Harus berhari-hari? Harus sakit perut dulu (kata Yinna kalau lagi
‘dapet’ itu perutnya harus sakit)? Kenapa tidak diproseduri semacam pipis
berdarah, currr, cebok dan langsung selesai, begitu? Repot sekali kalau harus
rempong ganti pembalut tiga kali sehari plus menahan deg-degan kemungkinan
bocor di seragam sekolah sepanjang hari?
Belum lagi ketika pelajaran olahraga. Sudah menjadi rahasia
umum jika teman-teman perempuannya berbondong-bondong menuju UKS ketika jam
olahraga itu pasti alasannya satu : lagi ‘dapet’ dan sakit perut. Dayana yang
senang pelajaran Olahraga itu santai-santai saja, “lha wong saya belum ‘dapet’,
kok."
Pada suatu hari, Bu Sari, guru yang mengajar Biologi di kelasnya sedang mengajar pelajaran reproduksi. Katanya, setiap anak-anak yang beranjak dewasa
harus melalui pertanda. Untuk perempuan, (Dayana sudah menyimak dan membaca
puluhan kali dari buku-buku yang dibacanya) ditandai dengan keluarnya darah dari alat kelamin. Beberapa murid
perempuan teman-teman Dayana terngikik pelan-pelan. Sekian murid laki-laki
berdecak ~eaaa~. Satu orang murid perempuan sedang berwajah pucat. Dialah
Yinna, teman sebelahnya.
“Yan, kamu bawa jaket nggak?” bisik Yinna sepelan mungkin.
“Apa? Nggak, emangnya buat apa?”
“Duh, nggak bawa ya? Anu, aku bocor! Aku takut disuruh maju
sama Bu Sari,” kata Yinna sambil menunjukkan helaian roknya yang berdecak darah.
“Ha, bocor?!”
Makin banyaknya kisah bocor karena ‘dapet’ itu kian membuat
Dayana merasa beruntung dirinya belum dikaruniai Menstruasi. Kemudian Bu Sari
melanjutkan penjelasannya (Tampaknya Yinna sedang membisiki hal 'pinjem jaket' pada
teman perempuan lain).
“... Dan untuk laki-laki, pertanda kedewasaan itu adalah mimpi
basah.”
Suasana kelas menjadi riuh, terutama murid laki-laki. Wajah
Yinna semakin pucat. Baginya, lebih baik maju ke depan kelas tapi disalahkan guru karena bingung menjawab daripada mengikuti pelajaran Biologi dalam keadaan 'tembus'. Bagaimana kalau Bu Sari tanya siapa saja yang sudah Mens? Bagaimana kalau dia disuruh maju untuk menjelaskan tentang pengalaman Mens? Kan dia satu-satunya murid perempuan yang paling cerewet menyoal Mens.
Dayana, meski dalam hati kasihan dengan Yinna yang tak kunjung mendapat pinjaman jaket, tak begitu ambil pusing. Ah, belum Mens juga. Pasti Bu Sari tidak bakal curiga.
Sisa siang itu digunakan Dayana untuk menghibur Yinna yang terus menerus berbisik, "Gimana nih, Yan, aku takut banget disuruh maju," "Aduh, darahnya kemana-mana, kamu punya tissue untuk bersihin bangku?" "Tau begini tadi pagi aku pakai pembalut yang night, bodohnya aku pas hari berat malah pakai yang slim." Sementara di depan, Bu Sari sedang menjelaskan proses pertemuan sperma dan sel telur. Tampaknya kelas makin riuh ketika Bu Sari menyebut penis dan vagina.
Bagi Dayana, tanda kedewasaan manusia itu tidak adil. Bayangkan saja, seorang perempuan harus menahan sakit dan kerisihan yang luar biasa di organnya. Sementara, laki-laki malah enak-enakan mimpi basah - Dayana pernah membaca di salah satu bukunya yang memmbahas tentang perasaan ketika mimpi-. Bukankah itu tidak adil? Kenapa laki-laki tidak dibuat kerepotan seperti perempuan yang harus mengganti pembalutnya minimal enam jam sekali? Begitu pikir Dayana ketika bersambungan dengan yang namanya kedewasaan. Ditambah melihat kawan sebangkunya yang kerepotan ketika pembalut bocor, ah, merepotkan sekali?
Pada suatu hari, Dayana mimpi berada di sebuah kaki bukit dengan rumput yang sangat hijau. Di samping tempatnya berdiri ada sebuah danau dengan sekumpulan angsa yang sedang asyik bercengkrama. Di tepi danau itu, ada sebuh mahligai beratap dengan aksen kain berwarna putih. Suasananya cerah, tapi tidak ada satupun sudut langit yang memperlihatkan matahari. Berbondong-bondong kabut warna putih tersebar di mana-mana.
Kabut awan itu ada di kaki Dayana yang berstiletto putih, di pundaknya, di atas kepalanya, di dalam mahligai, di seberang danau, di bawah kaki angsa, di pepohonan di hutan, di manapun mata melihat. Jadi ini di tepi danau, ataukan di khayangan yang bertempat di negeri awan?
Belum selesai ketakjuban Dayana, tiba-tiba datanglah seorang pria yang mengaku bernama Mario. Pria itu tampan sekali. Usianya kira-kira lima tahun di atas Dayana. Hidungnya mancung, kulitnya olive, rambutnya cepak berdiri macam iklan hairfoam. Mario mengenakan kemeja putih dengan kancing atas terbuka yang menyebabkan bidang dadanya sedikit mengintip.
Belum selesai memperhatikan pria itu, Dayana menyempatkan diri melihat ke arah perairan danau. Dayana kaget bukan kepalang. Ternyata dirinya sangat berbeda dari kehidupan di dunia nyata. Wajahnya lebih dewasa, tubuhnya sudah berkurva layaknya wanita yang sedang ranum. Buah dadanya menyembul indah di balik blusnya yang berwarna putih. Dayana juga cantik sekali.
Dayana tidak menyadari betapa memesonanya pria itu ~diapun sudah sangat terpesona dengan tubuhnya sendiri~. Jadi dia berlagak seperti patung, ketika pria itu mendekatinya, mengangkat tubuhnya, membawanya ke mahligai di tepi danau itu, memeluknya, mencium lehernya dan yang berikutnya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut di cerpen ini.
Dayana terbangun dari tidur dengan setengah menyesal dan mendapati sesuatu yang basah di selangkangannya. Otaknya yang masih tersangkut emosi mimpi semalam menyambungkannya dengan mimpi basah. Tapi, kemudian dia ingat, dia kan perempuan? Mana bisa mimpi basah? Bukankah hanya laki-laki saja yang bisa? Sebuah pengalaman baru mendatangi pikiran Dayana tanpa pernah dia baca sebelumnya.
Kemudian ketika bangkit dari tempat tidur, ternyata perkara basah itu tidak hanya terjadi di selangkangan saja. Dayana serta merta kaget mendapati seperempat kasurnya penuh dengan noda darah. Dia menstruasi. Dia telah dewasa. Anehnya, diapun merasa buah dadanya sungguhan membesar beberapa senti. Kini tidak ada alasan lagi untuk membenci menstruasi, karena dia sendiri telah mengalaminya. Pagi itu suasanya beda dari pagi biasanya, Ibu Dayana membantu membereskan sprei yang sudah bernoda dan memberinya satu pembalut maxi merk langganan Ibunya. Dayana mandi dua kali lebih lama dari biasanya. Antara ekspresi jijik dengan darahnya, pakaiannya dan rasa pesonanya dengan bayang-bayang Mario.
Untuk pertama kalinya, Dayana senang dengan Menstruasi. Dia bahkan ingin berterima kasih dengan darah-darahnya. Karena darah-darah itu, Dayana dapat merasakan menjadi wanita dewasa dan bertemu dengan Mario di dalam mimpinya. "Sakit ketika Mens? Ah, siapa bilang? Aku tidak merasakannya tuh," batin Dayana.
Pagi itu Dayana pergi sekolah dengan perasaan gembira sekali.
Mario terus mendatangi mimpi Dayana ketika hendak Menstruasi setiap bulan. Malah menjadi tanda tersendiri bagi Dayana. Jika suatu malam Mario datang, keesokan harinya pasti darah pun datang. Hari-hari di antara menstruasi itu menjadi beban bayangan untuknya. "Kapan ya, ganti bulan? Aku ingin ketemu Mario lagi."
Kemudian pada suatu mimpi bulan ke sekian, Mario datang di tepi danau yang biasa itu. Dayana pun sudah berdandan cantik ~tetap dengan gaun putih yang diciptakan dari ketiadaan di mimpinya~. Tapi kali ini Mario datang dengan wajah anggun dan mengiba. Sebuah ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Kenapa Mario?" ucap Dayana.
"Dayana,"
"Ya?"
"Mulai sekarang, kamu harus bisa menghadapi ini sendiri. Aku sudah tidak akan menemuimu lagi setiap bulan," ujar Mario.
"Kenapa? Bukankah setiap bulan kita selalu bertemu di lembah hijau ini, dengan pakaian putih kita?" Dayana masih bingung tak percaya.
"Iya benar. Tapi di dunia nyata banyak hal yang memang harus dihadapi sendiri. Kamu telah dewasa. Tugasku telah selesai," Mario tersenyum menampilkan ekspresi tersenyum yang sama memesonanya seperti biasanya.
Perlahan dari punggung Mario tumbuhlah sepasang sayap putih. Kemejanya pun berubah menjadi jas dengan bebungaan di dadanya. Dayana ingin berlari mendekatnya, tapi sekuat tenaga Dayana berlari, sekuat itu pulalah Mario tetap berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Makin lama, sayap Mario semakin besar. Beberapa bagian tubuhnya mulai ditutupi kabut awan. Perlahan tapi pasti, sayapnya mulai mengepak, mengangkat tubuh Mario yang seolah-olah hendak ditawan oleh si sayap ke khayangan tingkat berikutnya. Dayana menangis melihat pria pujaannya terbang tinggi dengan sayap di atasnya. Bahkan pelukan perpisahan pun belum diberikannya untuk Mario.
Tiba-tiba, rerumputan tempat Dayana berdiri berubah warna dari hijau menjadi putih. Termasuk juga danaunya, airnya berubah menjadi bongkahan es. Mahligainya terperosok tenggelam. Angsa-angsanya saja sudah terbang mengikuti Mario tadi. Pepohonan berubah menjadi gumpalan kabut putih, gaun yang dipakai Dayana juga melumer, kecuali sepatunya. Dayana panik, dia mulai menutupi bagian tubuhnya dengan tangan. Kemudian tempatnya berdiri sudah tidak mampu terinjak lagi. Dayana jatuh dari ketinggian awan, jatuh dari tempat terindahnya bersama Mario.
Ternyata Dayana jatuh ke kasurnya. Dia bangun, menangis, meratapi spreinya yang sudah bernoda dengan darah. Kali ini bukan perasaan bahagia seperti bulan-bulan lalu. Tapi perasaan sedih dan kehilangan. Belum selesai memikirkan kepergian Mario, Dayana seperti lupa dengan apa yang terjadi di perutnya. Dia merasakan perutnya kram luar biasa.
Andhika Lady Maharsi.
Dayana, meski dalam hati kasihan dengan Yinna yang tak kunjung mendapat pinjaman jaket, tak begitu ambil pusing. Ah, belum Mens juga. Pasti Bu Sari tidak bakal curiga.
Sisa siang itu digunakan Dayana untuk menghibur Yinna yang terus menerus berbisik, "Gimana nih, Yan, aku takut banget disuruh maju," "Aduh, darahnya kemana-mana, kamu punya tissue untuk bersihin bangku?" "Tau begini tadi pagi aku pakai pembalut yang night, bodohnya aku pas hari berat malah pakai yang slim." Sementara di depan, Bu Sari sedang menjelaskan proses pertemuan sperma dan sel telur. Tampaknya kelas makin riuh ketika Bu Sari menyebut penis dan vagina.
Bagi Dayana, tanda kedewasaan manusia itu tidak adil. Bayangkan saja, seorang perempuan harus menahan sakit dan kerisihan yang luar biasa di organnya. Sementara, laki-laki malah enak-enakan mimpi basah - Dayana pernah membaca di salah satu bukunya yang memmbahas tentang perasaan ketika mimpi-. Bukankah itu tidak adil? Kenapa laki-laki tidak dibuat kerepotan seperti perempuan yang harus mengganti pembalutnya minimal enam jam sekali? Begitu pikir Dayana ketika bersambungan dengan yang namanya kedewasaan. Ditambah melihat kawan sebangkunya yang kerepotan ketika pembalut bocor, ah, merepotkan sekali?
Pada suatu hari, Dayana mimpi berada di sebuah kaki bukit dengan rumput yang sangat hijau. Di samping tempatnya berdiri ada sebuah danau dengan sekumpulan angsa yang sedang asyik bercengkrama. Di tepi danau itu, ada sebuh mahligai beratap dengan aksen kain berwarna putih. Suasananya cerah, tapi tidak ada satupun sudut langit yang memperlihatkan matahari. Berbondong-bondong kabut warna putih tersebar di mana-mana.
Kabut awan itu ada di kaki Dayana yang berstiletto putih, di pundaknya, di atas kepalanya, di dalam mahligai, di seberang danau, di bawah kaki angsa, di pepohonan di hutan, di manapun mata melihat. Jadi ini di tepi danau, ataukan di khayangan yang bertempat di negeri awan?
Belum selesai ketakjuban Dayana, tiba-tiba datanglah seorang pria yang mengaku bernama Mario. Pria itu tampan sekali. Usianya kira-kira lima tahun di atas Dayana. Hidungnya mancung, kulitnya olive, rambutnya cepak berdiri macam iklan hairfoam. Mario mengenakan kemeja putih dengan kancing atas terbuka yang menyebabkan bidang dadanya sedikit mengintip.
Belum selesai memperhatikan pria itu, Dayana menyempatkan diri melihat ke arah perairan danau. Dayana kaget bukan kepalang. Ternyata dirinya sangat berbeda dari kehidupan di dunia nyata. Wajahnya lebih dewasa, tubuhnya sudah berkurva layaknya wanita yang sedang ranum. Buah dadanya menyembul indah di balik blusnya yang berwarna putih. Dayana juga cantik sekali.
Dayana tidak menyadari betapa memesonanya pria itu ~diapun sudah sangat terpesona dengan tubuhnya sendiri~. Jadi dia berlagak seperti patung, ketika pria itu mendekatinya, mengangkat tubuhnya, membawanya ke mahligai di tepi danau itu, memeluknya, mencium lehernya dan yang berikutnya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut di cerpen ini.
Dayana terbangun dari tidur dengan setengah menyesal dan mendapati sesuatu yang basah di selangkangannya. Otaknya yang masih tersangkut emosi mimpi semalam menyambungkannya dengan mimpi basah. Tapi, kemudian dia ingat, dia kan perempuan? Mana bisa mimpi basah? Bukankah hanya laki-laki saja yang bisa? Sebuah pengalaman baru mendatangi pikiran Dayana tanpa pernah dia baca sebelumnya.
Kemudian ketika bangkit dari tempat tidur, ternyata perkara basah itu tidak hanya terjadi di selangkangan saja. Dayana serta merta kaget mendapati seperempat kasurnya penuh dengan noda darah. Dia menstruasi. Dia telah dewasa. Anehnya, diapun merasa buah dadanya sungguhan membesar beberapa senti. Kini tidak ada alasan lagi untuk membenci menstruasi, karena dia sendiri telah mengalaminya. Pagi itu suasanya beda dari pagi biasanya, Ibu Dayana membantu membereskan sprei yang sudah bernoda dan memberinya satu pembalut maxi merk langganan Ibunya. Dayana mandi dua kali lebih lama dari biasanya. Antara ekspresi jijik dengan darahnya, pakaiannya dan rasa pesonanya dengan bayang-bayang Mario.
Untuk pertama kalinya, Dayana senang dengan Menstruasi. Dia bahkan ingin berterima kasih dengan darah-darahnya. Karena darah-darah itu, Dayana dapat merasakan menjadi wanita dewasa dan bertemu dengan Mario di dalam mimpinya. "Sakit ketika Mens? Ah, siapa bilang? Aku tidak merasakannya tuh," batin Dayana.
Pagi itu Dayana pergi sekolah dengan perasaan gembira sekali.
Mario terus mendatangi mimpi Dayana ketika hendak Menstruasi setiap bulan. Malah menjadi tanda tersendiri bagi Dayana. Jika suatu malam Mario datang, keesokan harinya pasti darah pun datang. Hari-hari di antara menstruasi itu menjadi beban bayangan untuknya. "Kapan ya, ganti bulan? Aku ingin ketemu Mario lagi."
Kemudian pada suatu mimpi bulan ke sekian, Mario datang di tepi danau yang biasa itu. Dayana pun sudah berdandan cantik ~tetap dengan gaun putih yang diciptakan dari ketiadaan di mimpinya~. Tapi kali ini Mario datang dengan wajah anggun dan mengiba. Sebuah ekspresi yang sulit diterjemahkan.
"Kenapa Mario?" ucap Dayana.
"Dayana,"
"Ya?"
"Mulai sekarang, kamu harus bisa menghadapi ini sendiri. Aku sudah tidak akan menemuimu lagi setiap bulan," ujar Mario.
"Kenapa? Bukankah setiap bulan kita selalu bertemu di lembah hijau ini, dengan pakaian putih kita?" Dayana masih bingung tak percaya.
"Iya benar. Tapi di dunia nyata banyak hal yang memang harus dihadapi sendiri. Kamu telah dewasa. Tugasku telah selesai," Mario tersenyum menampilkan ekspresi tersenyum yang sama memesonanya seperti biasanya.
Perlahan dari punggung Mario tumbuhlah sepasang sayap putih. Kemejanya pun berubah menjadi jas dengan bebungaan di dadanya. Dayana ingin berlari mendekatnya, tapi sekuat tenaga Dayana berlari, sekuat itu pulalah Mario tetap berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Makin lama, sayap Mario semakin besar. Beberapa bagian tubuhnya mulai ditutupi kabut awan. Perlahan tapi pasti, sayapnya mulai mengepak, mengangkat tubuh Mario yang seolah-olah hendak ditawan oleh si sayap ke khayangan tingkat berikutnya. Dayana menangis melihat pria pujaannya terbang tinggi dengan sayap di atasnya. Bahkan pelukan perpisahan pun belum diberikannya untuk Mario.
Tiba-tiba, rerumputan tempat Dayana berdiri berubah warna dari hijau menjadi putih. Termasuk juga danaunya, airnya berubah menjadi bongkahan es. Mahligainya terperosok tenggelam. Angsa-angsanya saja sudah terbang mengikuti Mario tadi. Pepohonan berubah menjadi gumpalan kabut putih, gaun yang dipakai Dayana juga melumer, kecuali sepatunya. Dayana panik, dia mulai menutupi bagian tubuhnya dengan tangan. Kemudian tempatnya berdiri sudah tidak mampu terinjak lagi. Dayana jatuh dari ketinggian awan, jatuh dari tempat terindahnya bersama Mario.
Ternyata Dayana jatuh ke kasurnya. Dia bangun, menangis, meratapi spreinya yang sudah bernoda dengan darah. Kali ini bukan perasaan bahagia seperti bulan-bulan lalu. Tapi perasaan sedih dan kehilangan. Belum selesai memikirkan kepergian Mario, Dayana seperti lupa dengan apa yang terjadi di perutnya. Dia merasakan perutnya kram luar biasa.
Andhika Lady Maharsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar