Waktu Hujan di dalam Kereta

Di kursi seat 15a gerbong empat terduduklah aku.
Berbalut jaket hitam tipis.
Ah, untung aku membawanya.
Dingin sekali rasanya.

Aku termenung menatap nanar pada jendela yang sendu tertimpa rintikan rindu hujan.
Dibaliknya bayangkanlah pemandangan gunung Sumbing Sindoro, oh tidak, mereka tertutup mendung. Tentu saja. Alam hendak menyembunyikan Argo dan menggantinya dengan Bayu, Jawah dan Mega. Yang tersisa adalah distorsi hujan menyatu dengan efek blur segar kehijauan dari sawah-sawah, pohon Pisang, dan ladang huma yang terkadang berdiri sebuah rumah berdinding bambu di tengahnya.

Tiba-tiba aku teringat pada jendela yang tengah diseruduk rintikan, oh bukan, tusukan hujan. Aku pernah merasakan sakitnya tertusuk air hujan yang datang berramai-ramai. Samakah rasanya wahai jendela kereta?

Pemandanganku mengalir ke luar jendela yang kabur.

Tiba-tiba aku teringat pada rumah berdinding bambu di ladang itu. Apa di dalamnya ada tungku yang sedang menyala dan seorang Ibu yang tengah memasak singkong bakar? Was-was menunggu anak dan suami yang tadi pagi pamit untuk memancing dan bertani?

Tiba-tiba aku teringat dengan pematang sawah itu. Kapan terakhir kali pematang itu dilalui anak-anak kecil ceria berlarian mencari keong atau sekedar bermain layang-layang di sana?

Tiba-tiba aku teringat dengan hujan dan pohon Pisang di pinggir sawah itu. Pernahkah anak-anak itu berlari menyelamatkan diri dari hujan sambil berpayung daun Pisang?



Dan sungai. Pernahkah ikan wadernya dikail anak-anak itu, dibawa pulang dan diteriakkan pada sang Ibu, "Ibuuu, lihat! Aku membawa pulang ikan Wader, dimasak ya Bu, pokoknya setelah aku pulang dari Surau sama Bapak, aku akan makan malam nasi lauk ikan Wader."

Aku membayangkan sebuah keluarga, tengah makan malam di sebuah rumah berdinding bambu berlantai tanah di tengah ladang. Menikmati nasi lauk ikan wader. Mungkin si Ibu juga memasak sayur Jantung pisang. Dan sang Ayah yang membawa pulang beberapa jangkrik sawah untuk diberikan pada sang anak atas keberhasilannya mengail ikan.
Mereka tersenyum tertawa. Tanpa kekhawatiran rumah yang hanya beratap rumbia itu bocor tertimpa hujan.

Oh ya, selalu ada kehangatan di balik hujan.


Nb :
- Aku lagi nunggu penjual kripik wader lewat di gerbongku
- Barusan ada pengamen yang bermain biola

Andhika Lady
KERETA LOGAWA 19 Feb 2012

Tulisan ini pernah diposting di Sayap-sayap Mimpi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar