Kita Pelaku Bullying?


Tadinya, setiap ada yang menanyakan pendapat saya soal bullying, saya selalu memposisikan diri di luar garis. "Ya saya tahu apa itu bullying. Saya tentu saja anti-bullying." Pokoke sok nggambleh gitu lah.

Sampai kemudian, saya meihat blogpost teman saya, Manda, yang ini. Post tersebut memicu banyak perdebatan soal batasan-batasan bullying. Saya mengira sih, awalnya para pelaku mencoba membela diri bahwa yang mereka lakukan bukanlah bullying. Tapi gara-gara itu, saya jadi berpikir dan bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Dan pertanyaan yang muncul bukanlah: "apakah si pelaku salah?" Tapi malah:


Apakah saya pelaku bullying?

***

Dulu, saya pernah mengalami apa yang dialami Manda. Ada sekelompok orang yang membuat suatu grup yang isinya khusus untuk membicarakan kejelekan-kejelekan saya. Selain menggunjing dalam grup tersebut, para pelaku juga membuat banyak akun sosial media dan akun google palsu untuk menulis komentar pedas di instagram, facebook, dan blog saya.

Saya tetep adem ayem, karena saya sama sekali nggak tahu ada sekelompok orang yang sedang bergunjing di belakang saya. Dan ketika dapet komen tai ya saya anggap wajar saja. Lha wong saya ini artis kok, resiko jadi orang shopisticated dan terkenal. Ya setara lah ya sama Agnes Monica. Sampai suatu ketika, salah seorang anggota grup memutuskan untuk memperlihatkan kepada saya isi obrolan dari grup tersebut, beserta siapa-siapa saja orang yang terlibat di dalamnya.

Mau tau apa yang mereka bilang tentang saya? Intinya saya arogan, sombong, mau menang sendiri, selalu merasa benar, merasa paling populer dan merasa paling cantik.

Saya marah? Mmm...bingung juga menjelaskannya, tapi saya sama sekali nggak marah. Soalnya apa yang mereka bicarakan tentang saya itu...benar adanya :D. Lalu mereka kebetulan bukan orang dalam lingkaran terdekat saya, bukan pula orang yang pendapatnya bakalan mempengaruhi karir dan kehidupan percintaan saya, bukan orang yang akan saya curhati atau saya ajak hangout, dan maaf saya memang sombong tapi kalau dibanding mereka tentunya saya jauuhh lebih febeles, lebih mempesona, dan lebih sosialita #KibasBehaMahal.

"Arum kalau pakai eyeshadow kayak eek."
"Lha elu pakai eyeshadow mendekati kayak eek aja nggak mungkin bisa ngahahahahaaa..."

Ah baru 5 paragraf dan saya udah menunjukan sifat sombong saya. Tytyd.

Intinya saya nggak pernah menganggap apa yang mereka lakukan kepada saya tersebut adalah suatu bentuk bullying. Karena ya nggak ada pengaruhnya juga sama kehidupan saya. Saya yakin mereka juga nggak mungkin bisa/ mampu menyentuh lingkaran pertemanan dan pekerjaan saya in real life. Atau dengan kata lain, saya menganggap mereka nggak punya power untuk bikin kehidupan saya kacau. Lain kalau yang ngata-ngatain saya itu Nicholas Saputra bersama Chiko Jerikho misalnya. Mungkin hati saya akan hancur lebur dan menangis siang malam menahan rindu dendam.

Sampai kemudian kasus Manda ini terangkat, dan saya jadi tahu bahwa apa yang mereka lakukan ke saya adalah bullying, meskipun nggak berhasil. Yang coba mereka lakukan kepada saya, namanya adalah indirect bullying, atau bullying tidak langsung. Dan lebih jauh lagi, yang mereka lakukan ke saya adalah relasional bullying.

Kenapa saya menyebut itu sebagai relasional bullying? Begini deh, mungkin yang kzl sama saya cuma satu atau dua orang. Nah, dua orang ini secara terus-menerus membicarakan mengenai kejelekan saya pada sebuah grup yang anggotanya berjumlah satu kelurahan. Tujuannya apa lagi, kalau bukan menggiring opini orang satu kelurahan tersebut bahwa saya adalah orang yang sombong dan sok segalanya (di luar itu memang bener)? Penggiringan opini tersebut, akan berujung kepada pengabaian, pengucilan, tatapan tajam membelah dada, dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya kepada saya.

Tentu bila cuma dilakukan oleh satu-dua orang, pengabaian, pengucilan, dsb ini nggak akan terlalu terasa dampaknya pada korban. Tapi kalau dilakukan oleh orang sekelurahan?

Orang-orang yang awalnya biasa saja kepada saya, jadi benci saya kepati-pati. Padahal nggak semua orang dalam kelompok tersebut pernah bersinggungan dengan saya. Jadi mereka hanya mendengar dan kemudian membenci. Orang-orang tersebut, kemungkinan besar mempunyai kelompok lain di luar kelompok satu kelurahan tersebut. Bisa jadi karena sudah saking termakan oleh kebencian terhadap saya, orang-orang tersebut menyebarkan benih kebencian juga di kelompok-kelompok lainnya. Dan yang terjadi adalah pembunuhan karakter.

Ingat, semakin banyak anggota suatu kelompok, semakin besar kemungkinan suatu cerita di dalamnya menyebar.

Nggak kok. Hal-hal di atas nggak terjadi kepada saya. Seperti yang saya bilang, saya bahkan awalnya nggak menganggap apa yang mereka lalukan pada saya adalah bullying, karena nggak ada efeknya. Saya tetep febeles dan mereka tetep....bergunjing tanpa peningkatan level kekerenan dan kualitas hidup. Di sini saya cuma memaparkan, apa yang disebut gosip bisa jadi sesuatu yang melukai seseorang secara serius.

Mungkin tindakan mereka nggak berefek di saya. Tapi bagaimana kalau kebetulan korban bukan orang yang sendablek saya? Nggak semua orang seembuh saya dalam menghadapi reaksi lingkungan di sekitarnya. Relasional bullying-yang-berhasil pernah terjadi kepada Momon. Dan efeknya sungguh panjang. Bahkan sampai sekarang Momon masih koplo.

Gosip jahat pada akhirnya juga bisa menjadi bullying.

***

Hal di atas membuat saya berpikir lagi semalaman. Benarkah saya sama sekali nggak pernah terlibat dalam tindakan bullying? Atau apakah tanpa sadar saya pernah melakukan bullying? Karena orang seringkali teriak-teriak anti-bullying, padahal sendirinya sedang melakukan bullying.

Contoh yang sedang terlihat jelas adalah soal Awkarin. Banyak banget warganet yang mempersalahkan dia atas meninggalnya Oka Mahendra. Awkarin dituduh telah melakukan bullying verbal dan relasional, sampai menyebapkan Oka meninggal dunia. Warganet sadar betul apa dampak bullying, dengan melihat bagaimana kisah Oka. Tapi mereka sekaligus juga melakukan bullying terhadap Awkarin.

Menanggapi peistiwa meninggalnya Oka, netizen rame-rame menggunakan hastag #StopHate #HatredKilledOka. Tapi mereka juga mengirim kebencian kepada Awkarin. Mereka secara nggak sadar sama persis seperti orang yang mereka benci. Kebencian ternyata juga membunuh akal sehat. Kampanye anti-bullying nggak bisa dilakukan dengan cara melakukan bullying.

Dan mereka bahkan nggak peduli seandainya yang di-bully pada akhirnya meninggal juga.

jawaban ketika admin akun gosip ditanya: bagaimana jika tindakannya menyebabkan korban bunuh diri?

Lalu beberapa waktu yang lalu, saya juga mengintip akun instagram hater Afi. Kalau melihat akun tersebut, yang terjadi adalah pembullyan. Ajakan untuk membenci Afi. Bukan cuma membahas bahwa perilaku plagiat itu salah, tapi juga membahas bagaimana masa lalu Afi, bagaimana sikap dia di rumah, bagaimana interaksinya dengan teman-temannya, siapa pacarnya, sampai bagaimana bentuk bibirnya! Yang menurut saya udah jauh melenceng dari ajakan anti plagiarisme.

Jangan salah, saya pun bukan penggemar dek Afi. Sebagai blogger, saya paham betul bahwa plagiat itu menyakitkan. Cara dek Afi meminta maaf juga malah bikin saya tambah mangkel. Tapi saya tetap nggak setuju dengan bullying. Bukan karena saya nggak suka sama seseorang, lantas orang tersebut kemudian menjadi pantas untuk dibully.

Nah, akun tersebut beberapa waktu yang lalu, mengunggah video yang berisi pembullyan, sambil membully si pelaku bully (bullyception). Saya bengong sejenak. Ini anak tau nggak sih bahwa akun yang dia gawangi isinya juga bullying? Dia tahu bahwa bullying itu salah, bahkan dia mengutuk pelaku bullying lain. Tapi aktifitas bullying terhadap Afi tetap dilanjutkan.

Mengenai Afi, sebenarnya bukan cuma satu dua orang ahli yang mengatakan bahwa, cara terbaik untuk membuatnya sadar adalah dengan didiamkan. Nggak perlu memberikan reaksi berlebihan terhadap semua tindakannya, baik itu reaksi baik maupun reaksi buruk. Admin akun hater-nya pun sebenarnya paham, karena beberapa kali statement tersebut di-capture dan di-post di akunnya. Tapi ya tetep aja, pembullyan berlanjut. Dari situ saya menyimpulkan, tujuan si admin akun tersebut bukan untuk membuat Afi sadar. Tapi lebih untuk menyalurkan nafsu ingin marah dan membully dari si admin.

Beberapa waktu yang lalu, terjadi kasus bullying di SMP dan di Universitas yang kemudian menjadi viral karena di videokan. Banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang sibuk mengutuk para pelaku. "Kalau itu anak saya, udah saya hajar."

Masalahnya terkadang si ibu dan si bapak yang berapi-api komen mau menghajar anaknya bila melakukan bullying tersebut, nggak jarang juga ikut ambil bagian dalam perilaku bullying. Contoh simpel:
- Ibu-ibu komen jahat di instagram hater Ayu Ting Ting
- Bapak-bapak berkata-kata kasar di akun yang punya pandangan politik yang berbeda dengannya.

Itu baru contoh simpel. Lalu dengan enteng bilang mau menghajar anaknya seandainya anaknya melakukan bullying. Padahal anak itu biasanya mencontoh perilaku orang tua lho!

Jadi bullying itu salah, kecuali kalau kita sendiri yang melakukan?

Pun kita, saya juga, benarkah nggak pernah melakukan bullying sama sekali?

Bahkan saat ada korban bullying yang mencoba speak up, lalu kita malah mengecilkan apa yang dia alami: "dasar mental tempe! Aku ini lho sudah pernah dibully lebih keras dan nggak secengeng kamu."

Dengan berkomentar seperti itu tanpa sadar sebenernya kita sudah melakukan pembullyan. Dan bagaimana mungkin orang yang mengaku pernah dibully malah nggak punya empati dan balik melakukan pembullyan pada sesama korban? Apa ini kayak lingkaran setan, korban kemudian menjadi pelaku?

***

"Lho, aku kan cuma bergosip, bukan membully."
"Tapi dia itu plagiat."
"Dia pelakor, pantas dibully."
"Ya mau gimana lagi, dia susah sekali dikasih tau."

Tau nggak, tukang bully selalu punya alasan untuk membenarkan tindakannya.

Dia pelakor, melakukan plagiat, dan bebal.
Kita pembully.
Sama vangsat-nya, kan?

12 komentar:

  1. kita semua bengceeekkk

    BalasHapus
  2. sungguh benar adanya..akun anu itu yang katanya kasih pelajaran ya lagi ngebully. Tapi ternyata follower dese juga yg gak sadar ironinya *bacain komen2
    Saya setuju pendapat brarum *sokdeket

    BalasHapus
  3. Penulis Becok Ciang juga vangsat

    BalasHapus
  4. "Intinya saya selalu merasa benar ..xx.. tapi saya sama sekali nggak marah ..xx.. Soalnya apa yang mereka bicarakan tentang saya itu...benar adanya." Akhirnya ada yang mau menuangkan kisah hidupku pd sebuah otobiografi dalam blog legendaris.

    BalasHapus
  5. I was a bully. Oh, I am a bully. Apa saya mendapat sesuatu yang bagus dari membully orang? Enggak. Saya nyoba berhenti dari mulut jahat yang suka seenaknya jeplak.

    Tapi susyah, karena nyinyir itu lebih mudah. Apalagi maido, itu kemudahan yang hqq dibandingkan memberi solusi dan semangat.

    Sem.

    Mbak arum, you're such a bully. Postingan ini bikin saya merasa jahat.

    *lalu dikum asam sulfat sama mbak arum*

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus