[Cerbung] Air, Api, dan Tanah Chapter 5: Retakan


Chapter 1 Andre

Chapter sebelumnya: Chapter 4 Mbak Mirna Si Pelayan Bahenol

Begitu Rasha mengakhiri pembicaraannya dengan Pak Soedrajat melalui telepon, aku bergegas pergi menuju ke kamar sebelum Rasha tahu bahwa aku telah mencuri dengar pembicaraan mereka.

"Loh, udah pulang, Kei?" tanya Rasha begitu melihatku menaiki anak tangga.

"Iya, barusan aja kok," kataku berbohong.

"Eh, udah sarapan? Katanya Ibu masak soto lamongan. Hhhmmmm.. pasti enak! Yuk!"

"Iya, tadi Ibu udah bilang kok. Sek, tak mandi dulu, baru sarapan."

"Eh, nanti temenin aku ke mall ya, Kei! Mau belanja bulanan."

"Yaaa.. Apa sih yang nggak buat kamu," kataku sambil berlalu.

***

Kunyalakan shower, kurasakan air hangat mengalir ke setiap jengkal tubuhku. Aku dongakkan kepala dan kubiarkan air hangat menerpa wajahku. Kuusap perlahan permukaan kulitku untuk meluruhkan debu dan kotoran yang menempel.
Hhhhhh.. nyaman sekali rasanya.

Kuambil dan kutuangkan shampoo ke telapak tanganku, kemudian kuusapkan ke rambutku hingga berbusa dan kupijat ringan kepalaku. Aku mencoba untuk rileks, tapi pikiranku terusik oleh percakapan antara Rasha dengan Pak Soedrajat tadi.
Apa yang sebenarnya dibicarakan oleh Rasha dan Pak Soedrajat?
Kubasuh busa shampoo dari kepalaku hingga bersih, kemudian kuambil conditioner dan kuoleskan ke ujung rambut.

Pikiranku semakin menerawang. Percakapan antara Rasha dan Pak Soedrajat telah menambah daftar keanehan yang selama ini kurasakan. Aku memang merasa ada yang aneh dengan diriku, hanya saja aku tidak tahu harus bercerita dan bertanya kepada siapa.
Apakah yang ingin dikatakan Pak Soedrajat dan Mbak Mirna ada hubungannya dengan segala keanehan yang selama ini kurasakan?Apakah aku harus bertanya langsung kepada Rasha?
Kubilas conditioner dari rambutku, kemudian kuambil body shower beraroma jeruk favoritku. Aroma jeruk yang selama ini bisa menenangkan pikiranku, kali ini tidak berpengaruh sama sekali. 
Aaaaaarrrrgh.. aku penasaran!!!

***

"Soto buatan Ibu memang juarak! Gimana badanku bisa langsing ala model Victoria Secret kalau Ibu masaknya selalu enak begini!" kata Rasha dengan menggebu-gebu.

"Woi, malah bengong! Itu soto enak malah dianggurin." Rasha menjentikkan jarinya ke depan wajahku dan membuyarkan lamunanku.

"Lagi diet?" tanya Rasha. Aku menjawab dengan gelengan kepala.

"Sha, aku boleh tanya sesuatu?"

"Tanya apa?"

"Ada yang mau mendoan panaaass?" Belum sempat aku bertanya kepada Rasha, Ibu tiba-tiba datang dari dapur membawa sepiring mendoan panas.

"Wuaaaaaahhhhhhh.." Rasha menatap sepiring mendoan panas layaknya melihat cincin berlian.

"Hati-hati, masih panas," kata Ibu sambil tersenyum, kemudian kembali ke dapur.

"Mau tanya apa tadi, Kei?" lanjut Rasha sambil mengambil mendoan dan meletakkannya ke mangkuk sotonya.

"Mmmmm.. Nanti aja deh! Habisin dulu aja sarapannya. Habis ini masih ke mall kan, keburu siang, keburu jalanan macet."

***

Mobil melaju di jalanan yang cukup lengang, jam tanganku menunjukkan pukul 09.50 WIB.

"Nanti habis dari mall, kita ke bengkel dulu ya. Benerin pintu mobil, dua pintu belakang cuma bisa dibuka dari luar," kata Rasha. Aku menjawab dengan anggukan.

Ada keresahan yang kurasakan, kugosok-gosokkan tanganku ke paha. Aku kembali menimang apakah aku perlu menanyakan apa maksud pembicaraan Rasha dengan Pak Soedrajat tadi pagi? Atau aku tunggu saja mereka menjelaskannya padaku dan kubiarkan rasa penasaran ini menggerogoti pikiranku?

"Hhhhhhh.." Aku menghela nafas.

"Kenapa, Kei? Kok kayaknya lagi resah," tanya Rasha.

"He? Oh, nggak kok," kataku sambil tersenyum. Aku terdiam sejenak, "Sha.."

"Ya?"

"Mmmmm.. Apakah selama ini ada yang kamu sembunyikan dariku? Atau mungkin ada sesuatu yang perlu kamu ceritakan padaku?" tanyaku.

"Maksudnya?" tanya Rasha.

Aku terdiam, berusaha mengolah kata. Aku menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal. Aku bingung bagaimana harus bertanya. Rasha terdiam di bangku kemudi dengan pandangan lurus ke depan, menungguku menjawab pertanyaannya.

Kualihkan pandanganku ke arah luar, sejauh mata memandang hanya terlihat pohon perindang di sepanjang jalan, tidak banyak kendaraan yang melintas. Kutarik nafas panjang, "Sebenarnya, tadi pagi aku mendengar pembicaraan......"

Secara tiba-tiba, Rasha membanting setir ke arah kanan.
BRAAAAK! SRRAAAAK...
Mobil berhenti secara mendadak, tubuhku yang memakai safety belt terdorong ke depan dengan sangat keras hingga kepalaku membentur kaca mobil.

"Aaaaaaaargh.." Aku mengerang kesakitan dan memegang kepalaku, darah yang hangat terasa mengalir di dahiku. Mataku berair menahan rasa sakit di kepalaku, pandanganku kabur, badanku bergetar. Suasana hening.

"Uuuuugh.. Kei, are you okay?" Rasha terdengar mengerang kesakitan.

"Iya, Sha. Kamu?"

Kondisi Rasha terlihat tidak lebih baik dariku, terlihat memar dan darah di dahinya, sepertinya kepalanya telah membentur setir. Kualihkan pandanganku ke depan, kulihat bagian depan mobil sudah remuk, ada sebuah pohon besar yang menimpanya. Aku tidak bisa melihat keadaan di luar karena pohon tersebut menghalangi pandanganku. Kaca bagian depan tidak sampai pecah walaupun retaknya cukup parah.

"Setidaknya aku pernah lebih baik dari sekarang. Kamu masih bisa jalan kan?" tanya Rasha sambil melepaskan safety belt-nya.

Aku mengangguk, kemudian membuka safety belt-ku dan membuka pintu mobil. Aku baru tersadar ada batang pohon yang melintang menghalangi pintu mobil, "Sha, pintuku nggak bisa dibuka, ada pohon yang menghalangi."

"Hhhhhhh.. sama. Di samping pintuku juga ada pohon." Rasha hanya bisa menghela nafas sambil terus memegang kepalanya yang berdarah.

"Kita keluar lewat jendela pintu belakang. Mesin masih bisa nyala?" tanyaku.

Rasha mencoba menyalakan mesin, namun gagal. Rasha menggelengkan kepalanya. Kami harus segera keluar dari mobil. Kulihat atap mobil sudah penyok ke dalam. Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana kalau ada pohon yang tumbang lagi? Kami benar-benar akan remuk.

"Kita pakai kunci pembuka ban untuk memecahkan kaca," Rasha menundukkan kepalanya dan merangkak menuju bangku belakang. Rasha mengambil kunci pembuka ban yang disimpan di bagian belakang mobil, kemudian menghantamkannya ke kaca. Satu dua kali hantaman, kaca tak bergeming.

"Coba lebih keras lagi, Sha."

Rasha mencoba lagi, kaca mulai retak sedikit demi sedikit. "Hah.. hah.. hahh..." Rasha berhenti sejenak, nafas Rasha menderu.

"Gantian, Sha." Kuambil pembuka ban dari tangannya, kami saling bertukar tempat. Kuhantamkan pembuka ban berkali-kali hingga akhirnya....
PRAAANGGG!
Aku keluarkan tanganku melalui jendela yang kacanya berhasil kupecahkan dan meraba tuas pembuka pintu mobil untuk membukanya dari luar.
Clap!
Pintu berhasil terbuka. Aku dan Rasha bergegas keluar dari mobil. Sesampainya di luar mobil, kusenderkan tubuhku ke badan mobil, dan berusaha mengatur nafasku yang tidak beraturan. Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, aku berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Kutatap langit, terlihat matahari bersinar cerah, tidak ada angin dan tidak ada hujan. Tapi, beberapa pohon perindang di sekitar kami tumbang seperti baru saja terkena angin yang sangat besar.

"Toloooooong..."

Tak jauh dari mobil kami, terlihat ada seorang ibu tergeletak bersama anak perempuannya yang berusia sekitar 8 tahun. Kaki ibu itu tertindih ranting pohon yang cukup besar, sedangkan anaknya terlihat tergeletak tak jauh darinya dengan kondisi tak sadarkan diri, terlihat luka di kepala, tangan, dan kakinya.

"Tolong kami, Mbak.."

Aku berjalan tertatih menuju ibu tersebut, bermaksud untuk menolongnya. Baru beberapa meter aku berjalan, tiba-tiba Rasha, "Keisha awas!!"

Rasha mendorong dan mendekap tubuhku, tubuh kami terhempas dan jatuh terguling hingga membentur salah satu batang pohon yang tumbang.
BRAAAAKKK!! KRAK!
Pohon yang tadi berada tepat di sebelahku kini telah tumbang. Jantungku berdegup kencang mengetahui apa yang baru saja terjadi. Rasha telah menyelamatkanku.

"Hah.. Hah.. Haaahhh.. Hah.. Hahhh..." Terdengar suara nafas Rasha yang menderu, aku memegang tangannya untuk melepaskan dekapannya. Aku berusaha bangun untuk melihat keadaan Rasha.

"Eeeeeerrrgh," Rasha telentang dan mengerang kesakitan sambil memegang bahunya, pasti bahunya membentur aspal dengan sangat keras. Siku dan kakinya juga terlihat berdarah.

"Ka.. kam.. kamu baik-baik saja kan, Sha?" tanyaku panik sambil mengelus rambutnya.

Rasha tidak menjawab pertanyaanku, Rasha terus mengerang.

"Jaja.. Jangan banyak bergerak dulu, bi.. biar aku cari bantuan," kataku terbata-bata.

Tiba-tiba telapak tanganku terasa panas, sangat panas, rasa panas ini menjalar ke seluruh tubuhku dengan perlahan, kulitku memerah dan jantungku terasa berdegup kencang.
Tu.. Tunggu tunggu! Jangan di sini! Tidak! Jangan di sini!
Aku memundurkan tubuhku menjauhi Rasha. Aku merasakan panas yang amat sangat menjalari tubuhku. Aku panik, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Tidak, aku harus tenang. Ya, aku harus bisa tenang..
Aku menarik nafas panjang beberapa kali, aku pejamkan mataku, berusaha untuk tenang. Aku tidak ingin situasi saat ini menjadi semakin kacau.
Ayo, Kei.. Calm down. Kamu bisa mengendalikannya..
Aku berusaha untuk menenangkan pikiranku dan mengatur nafasku. Rasa panas ini perlahan-lahan menghilang dari tubuhku dan kulitku kembali berwarna normal. Aku berhasil mengendalikannya.
KREK! KREEEEK..
Perhatianku tiba-tiba teralihkan oleh suara benda retak tak jauh dari tempatku duduk. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling untuk mencari sumber suara.
Apa itu?
Aku picingkan mataku untuk menajamkan penglihatan. Ada pola retakan kaca yang sangat besar terlukis di udara, seperti membelah pemandangan yang kulihat. Di sekeliling retakan tersebut, samar-samar terlihat warna pelangi yang bergerak-gerak dan saling bercampur. Keperhatikan lagi sekelilingku, retakan tersebut tidak hanya ada satu, bahkan ada beberapa.

Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan tertatih mendekatinya, retakan itu terlihat semakin jelas. Aku berhenti dan berdiri di depannya. Aku termenung dan mengamatinya.

Kusentuhkan jemariku ke retakan tersebut, dan........ hilang! Ujung jemariku yang menyentuh permukaan retakan tersebut menghilang. Aku seperti mencelupkan jemariku ke dalam air. Kutarik jemariku dan kucelupkan kembali, jemariku kembali menghilang.
Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?
Aku kembali teringat pada Rasha dan ibu yang tadi meminta tolong. Ini bukan saatnya penasaran, aku harus segera mencari bantuan.

Belum sempat aku melangkah, "Uuuuuggghhh..." Kepalaku terasa sangat berat, seperti ada paku yang menusuk kepalaku, aku sudah tidak kuat lagi. Pandanganku mulai kabur dan aku terhuyung. Pandanganku perlahan berubah menjadi gelap. Kurasakan sebuah tangan menyangga tubuhku yang terjatuh.
Siapa?
Sayup-sayup aku mendengar suara sirine, entah sirine mobil patroli ataukah ambulance.

Bersambung ke chapter selanjutnya...

2 komentar: