5 tahun lalu di Purworejo
"Mbak Mirna, saya titip Keisha ya. Maaf kalau kami jadi tambah merepotkan, tapi Bapak benar-benar harus ikut saya ke Yogyakarta. Mbak Mirna tenang saja, kami tetap akan balik ke Purworejo 1 bulan sekali," kata Ibu kepada Mbak Mirna.
"Iya, Mbak Mirna tahu sendiri, saya susah mencari pekerjaan di sini sejak saya kehilangan sebelah kaki saya. Kalau saya juga bekerja, kami bisa ikut urun bayar kontrakannya Mbak Mirna, jadi nggak cuma numpang seperti sekarang," lanjut Bapak.
"Aduuuuh.. apanya ta yang merepotkan? Selama ini, saya ikhlas membantu Bapak sama Ibu. Saya seneng loh, Bapak, Ibu, sama Keisha tinggal di kontrakan saya. Kan saya jadi nggak kesepian," kata Mbak Mirna dengan gaya bicaranya yang khas, penuh keramahan dan kemayu.
"Kami sebenarnya merasa nggak enak karena sering merepotkan Mbak Mirna. Sudah numpang di kontrakannya Mbak Mirna, sekarang malah mau nitipin anak," kata Bapak.
"Halah! Bapak ini ngomong apa ta? Yang namanya manusia itu kan memang harus selalu saling membantu."
"Sekali lagi terima kasih ya, Mbak. Kalau ada apa-apa dengan Keisha, Mbak Mirna bisa langsung menghubungi saya atau Bapak."
"Iya, Bu. Siap! Saya pasti akan jaga Keisha dengan baik. Kalau Keisha nakal, boleh saya jewer nggak?" Mbak Mirna mengerling nakal ke arahku.
"Terserah Mbak Mirna mau diapain. Kami sudah percaya penuh kepada Mbak Mirna, mau dijewer atau dijiwit ya, terserah Mbak Mirna. Asalkan nggak malah dikasih duit, repot kalau ketagihan, hahahahaha," canda Bapak.
"Jangan terlalu percaya sama Mbak Mirna, Pak. Nanti dikasih hati malah minta jantung," kataku dengan nada mengejek.
***
Peristiwa kebakaran kala itu tak hanya merenggut kaki kiri Bapak, tapi juga melahap rumah dan harta benda kami. Mbak Mirna lah orang yang berbaik hati memberikan tumpangan kepada kami, kami diperbolehkan tinggal di rumah tempat Mbak Mirna mengontrak. Bahkan, Mbak Mirna sama sekali tidak memungut biaya kontrakan dari kami, uang kontrakan tetap Mbak Mirna yang membayar.
Sebenarnya, Bapak dan Ibu ingin mencari kontrakan sendiri, tapi apa daya, harta benda kami sudah hangus terbakar. Uang simpanan Ibu di bank juga sudah habis untuk biaya rumah sakit Bapak.
Rumah kontrakan Mbak Mirna bisa dibilang sangat kecil, hanya terdiri dari 1 kamar berukuran 2x2,5 meter, 1 kamar mandi, 1 dapur kecil, dan 1 ruang utama berukuran 2x2 meter yang berfungsi sebagai ruang keluarga sekaligus sebagai ruang tamu, tanpa teras dan garasi. Lantai rumah juga masih terbuat dari semen.
"Maaf ya, kontrakan saya seperti ini. Maklum, saya cari yang paling murah! Buruh pabrik seperti saya hanya mampu ngontrak di rumah seperti ini," kata Mbak Mirna tetap dengan wajah yang sumringah.
Karena Ibu bekerja di Yogyakarta, bisa dianggap hanya aku dan Bapak yang menumpang di rumah kontrakan Mbak Mirna. Selama kami menumpang, aku tidur di kamar bersama Mbak Mirna, sedangkan Bapak tidur di ruang utama.
Sejak Bapak juga diminta bekerja bersama Ibu di rumah Pak Soedrajat, aku dipasrahkan sepenuhnya kepada Mbak Mirna. Mbak Mirna sudah kuanggap seperti kakakku sendiri.
***
"Weh, tumben jogging-nya sendirian, Kei? Rasha belum bangun ya?" tanya Mbak Mirna yang melihatku melintas di depan rumah Bu Rahma, pemilik rumah tempat Mbak Mirna bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga.
Bersamaan dengan kepindahanku ke Yogyakarta, Mbak Mirna mengaku telah di-PHK oleh pabrik tempatnya bekerja sebagai buruh pabrik di Purworejo. Bapak dan Ibu pun membantu Mbak Mirna mencari pekerjaan. Entah kebetulan atau bagaimana, Bu Rahma yang tinggal tidak jauh dari rumah Pak Soedrajat sedang membutuhkan ART karena ART yang lama mendapatkan pekerjaan lain dengan gaji yang lebih besar.
Bu Rahma sama dengan Pak Soedrajat, jarang di rumah sehingga Bu Rahma mempercayakan rumah beserta dengan isinya kepada Mbak Mirna seorang. Mbak Mirna yang mengurus segala isi rumah, kebun, dan mobil Bu Rahma. Mbak Mirna benar-benar seperti wonder woman, walaupun badan dan kecantikannya masih kalah kalau dibandingkan dengan Gal Gadot.
"Hahahaha, iya, Mbak. Biasalaaaaah.. mumpung weekend, jadi tidurnya dibablasin," jawabku, "Mmmm.. Mbak Mirna mau ke mana pagi-pagi begini?"
"Mau ke pasar, soalnya hari ini Mas Eko lagi libur jualan," jawab Mbak Mirna. Mas Eko adalah penjual sayur keliling langganan ibu-ibu kompleks.
"Lah, ke pasar kok pakaiannya seksi amat, Mbak? Terus itu pakai lipstick pink, eyeliner, sama blush on segala. Dih, ganjen amaaaattt.. Ntar digodain cowok-cowok di pasar looooohhh.." kulihat Mbak Mirna mengenakan celana hot pants, kaos, dan sepatu snikers. Outfit yang dia kenakan membuat badannya yang berisi dan tinggi semampai terlihat seksi, cukup untuk membuat para lelaki di pasar meneteskan air liurnya.
"Nah! Justru itu, Kei! Aku pilih yang penjualnya cowok! Tinggal kedipin mata sama suara yang dicentil-centilin, pasti dapat harga lebih murah! Pinter kan aku?!"
"Banget! Einstein kalah!"
"Lah, wong yang ngajarin Einstein itu aku!"
"Wuelok tenan! Sungguh luar biasa!" aku bertepuk tangan dengan tatapan sok kagum.
"Halah! Ya, udah ya, Kei! Keburu siang nih! Takut bahan makanan yang aku cari habis."
"Eh, pasar yang di deket Perumahan Sari Indah itu kan, Mbak?"
"Ho'oh."
"Aku ikut jalan ke sana ya, Mbak! Lagi bosen nih jogging di kompleks sini. Butuh suasana baru. Nanti pas Mbak Mirna belanja, aku jogging di sekitar Perumahan Sari Indah. Gimana?"
"Boleh-boleh! Biar ada temen ngobrol di jalan. Yuk!"
Dari pertama kali kami kenal sampai sekarang, Mbak Mirna sama sekali tidak pernah berubah. Walaupun sudah berusia 32 tahun, penampilan Mbak Mirna masih terlihat seperti anak kuliahan, bahkan seringkali mengenakan pakaian yang seksi seperti celana hot pants, mini skirt jeans, dan kaos yang pas badan. Karena pakaian dan badannya yang seksi berisi, penghuni kompleks menjulukinya "Mirna si Pelayan Bahenol".
Untung saja Bu Rahma sudah bercerai dengan suaminya lama sebelum Mbak Mirna bekerja sebagai ART di rumahnya. Kalau saja Bu Rahma bercerai setelah Mbak Mirna bekerja, aku yakin sudah beredar gosip di kompleks "Mbak Mirna si Pelayan Bahenol penyebab Bu Rahma bercerai dengan suaminya".
Lelaki mana yang tidak tergoda melihat Mbak Mirna yang mengenakan celana hot pants mengepel lantai dengan pantat yang sedikit dimundur-mundurkan, goyang ke kanan dan ke kiri? Walaupun mungkin memang ada lelaki yang tidak tergoda, tapi nada bicara Mbak Mirna yang kemayu dan penuh senyum sudah cukup untuk membuat lelaki senyum-senyum sendiri.
"Sugeng enjing, Pak Warno. Asyik bener nyuci mobilnya," sapa Mbak Mirna ketika melintas di depan rumah Pak Warno.
"Eh, Mbak Mirna. Mau ke mana, Mbak? Loh, ada Keisha juga."
"Pagi, Pak Warno. Iya, nih nemenin Mbak Mirna ke pasar," jawabku.
"Oalaaaah.. Oiya, Mbak Mirna, matur nuwun ya, kemarin sudah nemenin istri saya ke rumah sakit. Kebetulan kemarin saya ada meeting yang nggak bisa ditinggal."
"Sami-sami, Pak. Gimana keadaan Ibu? Sudah membaik?"
"Sudah, Mbak. Memang harus banyak istirahat."
"Bu Warno memang kalau disuruh diam susah ya, Pak. Hahahaha.. Ya, sudah kami duluan nggih."
"Hahahaha, monggo, Mbak."
Selain memiliki pribadi yang ramah, Mbak Mirna juga terkenal ringan tangan. Apabila ada tetangga yang membutuhkan bantuan, Mbak Mirna selalu dengan senang hati membantu.
"Bapak Ibu sehat ta, Kei?"
"Sehat, Mbak. Mbak Mirna sombong betul sekarang jarang main ke rumah. Sudah punya pacar ya?" godaku.
Selama ini, aku belum pernah satu kalipun melihat Mbak Mirna dekat dengan lelaki. Padahal sudah banyak lelaki yang mendekatinya, mulai dari Pak Raharjo duda kaya raya di Purworejo sampai Mas Eko penjual sayur keliling, semua sukses ditolak oleh Mbak Mirna.
Selama ini, aku belum pernah satu kalipun melihat Mbak Mirna dekat dengan lelaki. Padahal sudah banyak lelaki yang mendekatinya, mulai dari Pak Raharjo duda kaya raya di Purworejo sampai Mas Eko penjual sayur keliling, semua sukses ditolak oleh Mbak Mirna.
"Halah! Baru juga seminggu nggak main ke rumah, sudah dibilang sombong. Mbak lagi ngurus sesuatu, Kei," jawab Mbak Mirna.
"Bukan ngurusin suami orang kan yaaaaa?"
"Eh, kok kamu tahu?"
"Hah, beneran, Mbak?! Jangan cari perkara loh!"
"Hahahaha, nggak lah! Edan pa! Bercanda, sayaaaang.." kata Mbak Mirna yang kemudian mencubit pipiku.
"Kirain."
"Pak Soedrajat masih di luar kota, Kei?"
"Masih, Mbak. Katanya sih, minggu depan pulang. Kenapa? Kangen ya?" godaku.
"Idih! Udah bapak-bapak begitu! Aku levelnya sama duren, duda keren."
"Loh, Pak Soedrajat kan duda juga."
"Iya, duda, tapi nggak keren!"
"Wiiiiih, aku bilangin loooooh.."
"Wadulan!"
"Wadulan!"
Entah ada hubungan apa antara Mbak Mirna dengan Pak Soedrajat. Aku sudah beberapa kali melihat Pak Soedrajat menemui Mbak Mirna bukan di waktu lazimnya orang berkunjung ke rumah tetangga. Setiap kali kutanya, Mbak Mirna hanya menjawab, "Oalaaaah.. Biasalah, Pak Soedrajat nyariin Bu Rahma. Kayaknya sih, mau ngomongin bisnis."
***
Begitu sampai di rumah, aku mengambil gelas dan menuju galon air. Setelah 2 minggu absen, jogging beberapa putaran di Perumahan Sari Indah sudah membuatku merasa ngos-ngosan.
"Eh, sudah pulang ta, Nduk?" tanya Ibu.
"Iya, barusan aja kok pulangnya. Ibu masak apa buat sarapan?"
"Masak soto lamongan, itu sudah ada di meja makan. Buruan mandi, terus sarapan."
"Siap! Eh, Rasha sudah bangun, Bu?"
"Sudah. Sekarang lagi di halaman belakang."
Aku pun menuju halaman belakang untuk sekedar say hello.
"Iya, Pa. Keisha aman kok. Sekarang anaknya malah lagi jogging."
Hhmmmm.. sepertinya Rasha sedang berbicara dengan Pak Soedrajat melalui telepon.
Karena menyebut namaku, aku pun penasaran dan tidak tahan untuk mencuri dengar. Aku mengambil posisi di balik pintu agar tetap bisa mendengar suara Rasha yang duduk di sofa halaman belakang.
"Selama mereka belum menemukan batu itu, mereka masih tetap akan di sini. Tapi, Rasha pikir, mereka tidak akan berbuat macam-macam kalau memang tidak ingin berurusan dengan para Guardian di sini. "
Siapa yang dimaksud dengan "mereka"? Batu? Para Guardian?
"Papa dan Mbak Mirna kapan mau memberitahu Keisha tentang semua ini? Kita tidak bisa terus-menerus mencampuri urusan dimensi lain."
He? Pak Soedrajat dan Mbak Mirna mau memberitahu tentang apa?
"Hhmmmm.. benar juga Untuk saat ini, kita hanya berkewajiban untuk menjaga agar mereka tidak berbuat onar di sini."
Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?
Bersambung ke chapter selanjutnya..
Jimbim kok belum muncul di part ini?
BalasHapusBayar riyalti lah 💩
HapusKereeen ceritanyaaaa bikin penasaran sama part selanjutnya.
BalasHapusHehehehe.. thank you, Dien 😘
HapusBelum keluar ya part 6 nya? Kentangggg
BalasHapus