Chapter sebelumnya: Chapter 1 Andre
Pintu gerbang perlahan terbuka, terlihat sosok Pak Unang yang menggeser gerbang tersebut. Mobil berjalan perlahan melewati pintu gerbang. Pagar rumah ini tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 2,5 meter dan terdiri dari 3 bagian dengan celah vertikal seperti teralis di setiap bagiannya, memberikan kesan melindungi tanpa membuat penghuninya menjadi terpisah dengan kehidupan sosial di luar rumah.
"Makasi, Pak Unang," kataku.
"Iya, sama-sama, Mbak," jawab Pak Unang, "Oiya, ini ada paket buat Mbak Rasha."
"Hah, paket saya udah dateng ya, Pak?!" tanya Rasha memastikan. Kemudian, Rasha segera menerima paket yang disodorkan oleh Pak Unang.
Rasha Soedrajat (089725886xxx)
Jl. Tentara No. 52, Yogyakarta 55289
"Beli apa lagi, Sha?" tanyaku.
"Eyeshadow sama blush on, ehehehe.." jawab Rasha, "Makasih ya, Pak Unang. Kami masuk dulu."
"Kei, aku tidur dulu ya, capek banget," kata Rasha sesampainya di dalam rumah.
"OK, Sha! Jangan lupa bangun ya!"
"Hahaha, sialan! Udah sana mending bantu Ibu nyiapin makan malam! Kalau masakannya nggak enak, itu semua salahmu loh ya!"
"Iya, iya, lah wong Yogyakarta banjir aja itu salahku. Nanti kalau Ahmad Dhanil jadi presiden, itu juga salahku. Selalu aku yang salah, Sha. Aku!"
***
Setelah mengganti pakaianku, aku pergi ke dapur untuk membantu Ibu memasak. Kulihat sosok wanita berperawakan mungil sedang menyiapkan bahan-bahan makanan. Terselip rasa letih di wajah cantiknya yang dihiasi garis-garis halus pada dahi dan sekitar mata.
Ibu memiliki raut wajah yang tegas dengan tatapan mata yang lembut. Walaupun sudah berumur 50 tahun, Ibu masih terlihat berumur 40an tahun. Mungkin karena seletih apapun, Ibu akan selalu berusaha tersenyum.
"Masak apa, Bu untuk makan malam?" tanyaku.
"Eh, Keisha! Kamu ini ngagetin Ibu saja ta, Nduuuk," kata Ibu sambil mengelus dada, "Ini mau masak ayam goreng sama sop macaroni. Kamu sudah pulang daritadi, Nduk?"
"Ehehehehe, nggak juga, Bu. Habis ganti baju langsung ke dapur," jawabku.
"Rasha ke mana? Tidur ya?" tanya Ibu.
"Iya, dia kan kayak kebo, Bu. Ngantukan, hahahaha.." jawabku sekenanya.
"Hus! Mungkin Rasha memang kecapekan. Kamu nggak boleh begitu. Ingat, kita ini cuma numpang di rumahnya," kata Ibu menasehati.
"Iya, iyaaa.. Cuma bercanda kali, Buuu.. Serius amat. Nanti cepet tua loh!" kataku sambil mencubit pinggang ibu.
"Hhhhh.. kamu ini kalau dinasehati selalu saja cengengesan!" kata Ibu dengan nada pura-pura kesal, "Ya, sudah. Tolong itu bawang putihnya dikupas."
"Siap, Bu Komandan!"
***
Tepat 4 tahun yang lalu, aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kediaman Keluarga Soedrajat. Tak pernah terbayangkan aku akan tinggal di rumah sebesar ini, sebuah rumah yang memiliki luas 8 kali kontrakan kami di Purworejo.
***
4 tahun yang lalu di Purworejo
"Nduk, sini, Nduk. Bapak sama Ibu mau ngomong," kata Ibu sambil menepuk kursi di sebelahnya, memberikan isyarat agar aku duduk di sampingnya.
"Ada apa, Bu? Kok senyum-senyum begitu, sumringah banget. Ada kabar gembira ya?" tanyaku pada Ibu.
"Jadi, begini, Nduk," Bapak terlihat membetulkan posisi duduknya, "Kamu tahu Pak Soedrajat kan? Pemilik rumah tempat Bapak dan Ibu bekerja," tanya bapak, aku pun mengangguk.
"Beberapa waktu lalu, Bapak dan Ibu cerita tentang kamu ke Pak Soedrajat dan beliau terlihat sangat tertarik, apalagi saat beliau tahu kamu pernah menang lomba melukis tingkat internasional. Beliau jadi penasaran dan pingin ketemu sama kamu, Nduk," cerita Bapak.
"Iya, katanya ada yang ingin dibicarakan. Bapak dan Ibu belum tahu apa yang mau dibicarakan, tapi sepertinya akan ada kabar gembira," lanjut Ibu dengan tersenyum dan mengelus rambutku, "Besok Sabtu kamu libur kan? Ikut Bapak Ibu sebentar ke Yogyakarta ya, Nduk."
"Bu, rumahnya besar bangeeeeeettt.." aku memandang takjub di depan pintu gerbang rumah kediaman Keluarga Soedrajat, "Jadi, ini rumah tempat Bapak sama Ibu bekerja? Pantes Bapak sama Ibu jarang pulang, pasti betah banget tinggal di sini!"
"Heeeehh.. kamu ini kok ngomong sembarangan!" kata Ibu sambil menjewer telingaku, "Nanti kalau ngobrol sama Pak Soedrajat, jangan sembrono loh ya!" Aku hanya bisa cengengesan.
Kata Bapak dan Ibu, Pak Soedrajat adalah pengusaha export furniture yang cukup terkenal di Yogyakarta. Walaupun tinggal di Yogyakarta, beliau lebih banyak menghabiskan waktu di luar kota, bahkan di luar negeri untuk mengurus bisnisnya. Istri beliau sudah lama meninggal karena kanker otak yang dideritanya.
Semenjak istrinya meninggal, beliau mempekerjakan Ibu sebagai asisten rumah tangga sekaligus membantu mengasuh putri semata wayangnya, yaitu Rasha. Setelah 3 tahun mempekerjakan Ibu, beliau juga dengan baik hati mempekerjakan Bapak sebagai tukang kebun dan mempercayakan segala macam masalah pertukangan yang ada di rumahnya kepada Bapak.
Kupikir Bapak sudah tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak setelah kehilangan separuh dari kaki kirinya, bekas luka bakar di tangan kirinya juga membuat Bapak terlihat menyeramkan. Selain memberikan Bapak pekerjaan, bahkan Pak Soedrajat memberikan kaki palsu untuk Bapak. Betapa baiknya beliau. Aku jadi tidak sabar untuk bertemu dengan beliau.
"Jadi, kamu yang bernama Keisha. Wah, cantik juga putri Bapak dan Ibu," kata Pak Soedrajat dengan penuh keramahan, namun tetap berwibawa.
Raut wajahnya tegas dan memiliki mata berwarna cokelat dibalik kacamata yang berbingkai senada dengan warna mata beliau. Terlihat semburat putih di rambut beliau, menyiratkan bahwa waktu telah mengajarkan banyak hal. Suaranya sedikit berat dengan nada bicara yang penuh wibawa, membuat segan siapapun yang berhadapan dengan beliau.
"Saya dengar kamu pernah juara lomba melukis tingkat internasional. Apa itu benar?" tanya Pak Soedrajat.
"Iya, Pak. Benar," jawabku malu-malu.
"Coba ceritakan pengalaman kamu kepada saya," kata Pak Soedrajat.
Aku pun menceritakan mulai dari awal proses seleksi lukisan hingga akhirnya aku dikirim ke Jepang mewakili Indonesia. Pak Soedrajat mendengarkanku dengan seksama, sesekali mengangguk-angguk. Terkadang, tatapan mata Pak Soedrajat membuatku salah tingkah.
"Saya dengar juga, kamu ingin kuliah di Yogyakarta?" tanya Pak Soedrajat.
"Betul, Pak," kali ini aku menjawab dengan anggukan yang mantab.
"Saya sudah berhutang budi banyak pada Bapak dan Ibu Wahyu karena telah membantu saya mengasuh putri saya dan juga mengurus rumah saya," Pak Soedrajat memandang sejenak ke arah Bapak dan Ibu, "Kalau kamu berhasil menjadi lulusan terbaik di sekolah kamu, dan kamu berhasil masuk ke salah satu universitas di Yogyakarta, saya bersedia membantu 50% biaya kuliah kamu di 2 semester awal. Dan jika di 2 semester tersebut IP kamu lebih dari 3,25, saya akan menanggung seluruh biaya kuliah kamu di semester selanjutnya."
Dan begitulah, sampai pada akhirnya aku menjadi lulusan terbaik tidak hanya di sekolah, bahkan se-Purworejo. Aku juga diterima di universitas impianku. Dan Pak Soedrajat memenuhi janjinya kepadaku.
"Jadi, ini Pa yang namanya Keisha?" tanya Rasha begitu melihat kedatanganku, "Halo! Kenalin aku Rasha," Rasha menjulurkan tangannya untuk bersalaman. Cantik dan ramah, itu yang pertama kali terlintas di kepalaku.
"Iya, Mbak. Perkenalkan saya Keisha," jawabku menyambut uluran tangannya.
"Aduuuuuhhh.. jangan panggil "Mbak" doooonggg.. Kita kan seumuraaann. Lagian aku seneng banget akhirnya aku punya temen seumuran di rumah! Berasa punya saudara baru!" kata Rasha dengan mata berbinar-binar.
"Iya, anggap saja Rasha ini saudara dan rumah ini adalah rumah kamu, tidak perlu sungkan. Rasha juga sudah menganggap orang tua kamu seperti orang tuanya sendiri," kata Pak Soedrajat sambil tersenyum.
"Hehehehe, oke, Sha," kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
"Nah, gitu dong! Sekarang aku antar kamu ke kamar yuk! Aku sendiri loh, yang desain kamar kamu! Dari cerita Ibu sama Bapak, kelihatannya kamu anak yang simple dan agak tomboy. Jadi, interiornya didominasi warna putih aja biar aman. Kalau ada yang nggak sreg, bilang aja! Nanti biar aku bilang ke Papa buat ganti yang baru," Rasha terlihat menggebu-gebu seperti mendapat mainan baru.
Meskipun pada awalnya aku merasa canggung tinggal di rumah baru, aku merasa sangat bahagia menjadi bagian dari keluarga Soedrajat.
***
"Aduh!" goresan pisau pada jariku telah membuyarkan lamunanku. Darah segar mengalir dari ujung jariku.
"Hati-hati kalau lagi pegang pisau, Nduk. Jangan melamun. Basuh dulu lukamu, Ibu ambilkan obat merah."
Aku membasuh lukaku dengan air mengalir dari wastafel. Darah berhenti dan kulihat luka pada jariku perlahan-lahan menutup hingga akhirnya sembuh seperti tidak pernah ada luka sebelumnya.
"Lihat jari kamu, sini Ibu obati," kata Ibu sambil menarik tanganku, "Loh, mana lukamu? Perasaan tadi berdarah."
Bersambung ke chapter selanjutnya...
Chapter 3: Rahasia Bapak
Chapter 3: Rahasia Bapak
Ohmigod... Keisha punya skill healing. Atau jangan-jangan dia separuh kuntilanak, dibacok nggak mempan.
BalasHapusApapun lanjutannya..., minumnya tetap teh botol sroco...
Ya ampun, aku bacanya "teh botol coro", hahahahaha..
Hapusjeng rina.. apakah kamuh juga punya skill ngelawak? ketularan penulis2 blog inih hehe
BalasHapusKami nggak pernah ngelawak, Kak. Enelan deh..
HapusKirain Rasha cowo dan gebetannya Keisha. Kaget kok beli blush on. -_-
BalasHapusRasha transgender di suatu chapter..... boljug. Ide bagus!! 😍
Hapus