Awalnya saya biasa saja ketika ditanya seperti itu oleh salah satu teman, saya pun menjawab pertanyaan itu dengan santai, "Ya kenal suaminya sejak kenal Arum. Pas itu mereka masih pacaran." Saya pikir pertanyaan akan berhenti sampai di situ, tapi ternyata masih berlanjut, "Sampai sekarang masih deket sama suaminya Arum?"
Pada pertanyaan kedua tersebut saya mulai merasa aneh. Tapi selayaknya Dek Mon yang tai banget ini, saya pun menjawab, "Wah tyda sudi ya dekat dengan suaminya Arum. Kalau ketemu saja suka anyink-anyinkan."
Saya pun cerita ke Arum, lalu dia bertanya, "Apakah kamu dikira akan menjadi pelakor?" Hmmmm.. Sha ugha. Tampang saya memang serupawan Mulan Jameela, badan pun sama seksinya. Tapi Arum tidak se-gorjes Maia, suaminya pun tidak sekaya Ahmad Dhani. Arum juga tidak sesugih Bu Dendy yang bisa nyawer saya sampai puluhan juta. Kalau mau menjadi pelakor ya jelas saya cari tokoh yang lebih menarik untuk dijadikan drama lah.
Teman saya yang sudah bersuami tidak hanya Arum, dan sejauh ini hubungan saya dengan teman saya dan suami-suaminya baik-baik saja. Saya pun tidak merasa menjadi jomblo merana di antara teman-teman saya yang sudah bersuami. Begitu juga dengan teman-teman saya yang sudah pacaran, saya sering hadir menjadi orang ketiga.
Saya punya teman bernama Mbak Nurani, dia menikah dengan Mas Bangkit yang juga teman saya. Suatu hari saya main ke rumah Mbak Nurani dan Mas Bangkit, ramai-ramai bersama teman perempuan saya yang lain, lalu kami bermain judi sampai larut malam. Tolong rahasiakan hal ini dari Bang Rhoma ya, nanti dia marah.
Teman-teman saya memilih untuk menginap, tapi kan saya nggak diperbolehkan Mami saya untuk menginap, mau nggak mau saya harus pulang. Masalahnya adalah saat itu sudah jam 12 malam dan saya naik motor, saya takut diculik kuntilanak. Akhirnya Mbak Nurani meminta Mas Bangkit untuk mengantar saya pulang naik mobil, motor saya ditinggal saja dulu. Di saat itulah teman saya yang lain iyik, "Mosok suamimu berduaan sama Momon malem-malem gini?", "Mosok Momon dianter bojo uwong." Lalu Mbak Nurani nylekop, "Halah, mung Momon."
((( MUNG MOMON )))
Yang mau saya bahas bukan masalah ke-iyik-an teman-teman saya. Yang mau saya bahas adalah masalah perbedaan standar relationship antara Mbak Nurani dengan teman saya yang lain. Mbak Nurani menganggap bahwa tidak masalah jika suaminya mengantar saya pulang, toh kami bertiga sudah saling kenal cukup lama. Sedangkan teman saya yang lain menganggap bahwa Mas Bangkit nggak boleh lagi mengantar saya pulang (dengan kondisi berduaan) karena Mas Bangkit sudah menikah dengan Mbak Nurani. Saya sih seneng ya ada yang nganter, tapi seandainya Mbak Nurani nggak mengizinkan Mas Bangkit mengantar saya pulang, nggak masalah. Saya masih bisa merengek ke Mami saya, "MAMI AKU NGINEP AJA! TAKUT DICULIK KUNTILANAK."
Menurut saya, setiap orang sudah pasti punya standar hidup masing-masing, perihal apapun nggak hanya perihal relationship. Selama standar hidup tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang lain ya tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita memaksakan standar hidup kita kepada orang lain sehingga ujung-ujungnya malah jadi nyinyir *nyinyir maning, nyinyir maning*.
Untuk perihal pernikahan, saya tidak memiliki standar harus menikah di umur berapa. Orang tua saya pun tidak pernah memaksa saya untuk menikah di umur tertentu. Jika ada yang memiliki standar pernikahan bertentangan dengan standar saya, misal perempuan itu harus menikah sebelum umur 30 tahun, ya saya nggak boleh nyinyir, "NGAPAIN HARUS MENIKAH SEBELUM UMUR 30 TAHUN?" Begitu juga sebaliknya, orang tersebut nggak boleh nyinyirin perempuan seperti saya, "PEREMPUAN ITU HARUS MENIKAH SEBELUM UMUR 30 TAHUN, MON!"
Nggak hanya perihal pernikahan, perihal bentuk badan pun saya punya standar sendiri dan hanya saya terapkan ke diri sendiri. Saya ingin badan saya langsing dan sedikit berotot karena menurut saya badan seperti itu akan terlihat lebih indah. Tapi saya nggak berhak menghakimi bahwa orang yang berbadan besar dan tidak berotot itu mutlak jelek. Lah wong standar bagusnya bentuk badan setiap orang itu beda-beda kok. Dan badan itu milik pribadi setiap orang, nggak etis jika memaksakan standar cantik kita ke orang lain.
Saya nggak berhak bilang ke Arum, "Gendutan ya? Jelek!" Kalau memang Arum lebih suka badannya terlihat lebih berisi bagaimana? Lah wong bagaimanapun bentuk badan Arum nggak akan ngaruh ke kondisi keuangan saya kok. Arum juga nggak berhak bilang, "Nggak usah diet! Kurus banget, huelik!" karena bagaimanapun bentuk badan saya, Arum tetap akan mem-bully saya. Tai kan?
Tapi saya akui memang ada beberapa standar hidup yang harus disesuaikan dengan budaya atau kondisi tertentu dan harus menerimanya dengan legowo. Namanya juga hidup bermasyarakat, mau tidak mau tetap harus "berdamai" dengan masyarakat.
Orang tua saya sebenarnya membebaskan saya pulang malam, maksimal jam 12 malam. Tapi karena tetangga depan saya itu rese sekali, suka nyinyir: perempuan kok pulang malam terus, saya pun memilih mengalah dan meminimalisir pulang terlalu malam demi nama baik orang tua saya. Saya juga nggak terlalu rugi kalau harus pulang lebih sore, kalaupun harus lembur ya kerjaan masih bisa saya bawa pulang ke rumah. Saya tidak rugi, orang tua juga lebih senang saya pulang tidak larut malam, tetangga saya pun tidak nyangkem. Happy ending.
Standar hidup itu kan sifatnya subyektif ya, belum tentu menjadi yang paling benar. Ibarat standar perusahaan deh, untuk jadi sebuah perusahaan yang makin baik kan pastinya ada proses peninjauan kembali peraturan atau standar perusahaan yang sebelumnya sudah berjalan. Standar hidup ya mirip, ada kalanya kita harus mengubah standar hidup kita.
Saya dan Arum kan hampir setiap hari chat melalui WA. Dari sekedar bergosip hingga saling tukar pikiranyang unfaedah. Dari proses tukar pikiran itu, mungkin dari yang saya punya standar A jadi sedikit belok ke standar B. Kecantikan saya nggak akan berkurang kok kalau mengakui bahwa standar hidup yang selama ini saya anut ternyata salah. Lah wong di mata Arum saya memang selalu salah.
Bagi penulis Besok Siang, tulisan yang sangat sangat berkualitas adalah tulisan yang unfaedah. Kami tidak merasa rugi menulis unfaedah, kalian juga tidak rugi kan membaca Besok Siang? Ya, kan? Kan? Nggak ada yang salah dengan Besok Siang.
Jika ada yang komentar, "Bikin tulisan itu mbok yang faedah! Ra mutu tenan! Tulisanmu huelik." APAKAH KEPALAMU MINTA DISLEDING?
Udah?
Gitu doang?
*Sleding*
Teman saya yang sudah bersuami tidak hanya Arum, dan sejauh ini hubungan saya dengan teman saya dan suami-suaminya baik-baik saja. Saya pun tidak merasa menjadi jomblo merana di antara teman-teman saya yang sudah bersuami. Begitu juga dengan teman-teman saya yang sudah pacaran, saya sering hadir menjadi orang ketiga.
Saya punya teman bernama Mbak Nurani, dia menikah dengan Mas Bangkit yang juga teman saya. Suatu hari saya main ke rumah Mbak Nurani dan Mas Bangkit, ramai-ramai bersama teman perempuan saya yang lain, lalu kami bermain judi sampai larut malam. Tolong rahasiakan hal ini dari Bang Rhoma ya, nanti dia marah.
Teman-teman saya memilih untuk menginap, tapi kan saya nggak diperbolehkan Mami saya untuk menginap, mau nggak mau saya harus pulang. Masalahnya adalah saat itu sudah jam 12 malam dan saya naik motor, saya takut diculik kuntilanak. Akhirnya Mbak Nurani meminta Mas Bangkit untuk mengantar saya pulang naik mobil, motor saya ditinggal saja dulu. Di saat itulah teman saya yang lain iyik, "Mosok suamimu berduaan sama Momon malem-malem gini?", "Mosok Momon dianter bojo uwong." Lalu Mbak Nurani nylekop, "Halah, mung Momon."
((( MUNG MOMON )))
Yang mau saya bahas bukan masalah ke-iyik-an teman-teman saya. Yang mau saya bahas adalah masalah perbedaan standar relationship antara Mbak Nurani dengan teman saya yang lain. Mbak Nurani menganggap bahwa tidak masalah jika suaminya mengantar saya pulang, toh kami bertiga sudah saling kenal cukup lama. Sedangkan teman saya yang lain menganggap bahwa Mas Bangkit nggak boleh lagi mengantar saya pulang (dengan kondisi berduaan) karena Mas Bangkit sudah menikah dengan Mbak Nurani. Saya sih seneng ya ada yang nganter, tapi seandainya Mbak Nurani nggak mengizinkan Mas Bangkit mengantar saya pulang, nggak masalah. Saya masih bisa merengek ke Mami saya, "MAMI AKU NGINEP AJA! TAKUT DICULIK KUNTILANAK."
Menurut saya, setiap orang sudah pasti punya standar hidup masing-masing, perihal apapun nggak hanya perihal relationship. Selama standar hidup tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang lain ya tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika kita memaksakan standar hidup kita kepada orang lain sehingga ujung-ujungnya malah jadi nyinyir *nyinyir maning, nyinyir maning*.
Untuk perihal pernikahan, saya tidak memiliki standar harus menikah di umur berapa. Orang tua saya pun tidak pernah memaksa saya untuk menikah di umur tertentu. Jika ada yang memiliki standar pernikahan bertentangan dengan standar saya, misal perempuan itu harus menikah sebelum umur 30 tahun, ya saya nggak boleh nyinyir, "NGAPAIN HARUS MENIKAH SEBELUM UMUR 30 TAHUN?" Begitu juga sebaliknya, orang tersebut nggak boleh nyinyirin perempuan seperti saya, "PEREMPUAN ITU HARUS MENIKAH SEBELUM UMUR 30 TAHUN, MON!"
Nggak hanya perihal pernikahan, perihal bentuk badan pun saya punya standar sendiri dan hanya saya terapkan ke diri sendiri. Saya ingin badan saya langsing dan sedikit berotot karena menurut saya badan seperti itu akan terlihat lebih indah. Tapi saya nggak berhak menghakimi bahwa orang yang berbadan besar dan tidak berotot itu mutlak jelek. Lah wong standar bagusnya bentuk badan setiap orang itu beda-beda kok. Dan badan itu milik pribadi setiap orang, nggak etis jika memaksakan standar cantik kita ke orang lain.
Saya nggak berhak bilang ke Arum, "Gendutan ya? Jelek!" Kalau memang Arum lebih suka badannya terlihat lebih berisi bagaimana? Lah wong bagaimanapun bentuk badan Arum nggak akan ngaruh ke kondisi keuangan saya kok. Arum juga nggak berhak bilang, "Nggak usah diet! Kurus banget, huelik!" karena bagaimanapun bentuk badan saya, Arum tetap akan mem-bully saya. Tai kan?
Tapi saya akui memang ada beberapa standar hidup yang harus disesuaikan dengan budaya atau kondisi tertentu dan harus menerimanya dengan legowo. Namanya juga hidup bermasyarakat, mau tidak mau tetap harus "berdamai" dengan masyarakat.
Orang tua saya sebenarnya membebaskan saya pulang malam, maksimal jam 12 malam. Tapi karena tetangga depan saya itu rese sekali, suka nyinyir: perempuan kok pulang malam terus, saya pun memilih mengalah dan meminimalisir pulang terlalu malam demi nama baik orang tua saya. Saya juga nggak terlalu rugi kalau harus pulang lebih sore, kalaupun harus lembur ya kerjaan masih bisa saya bawa pulang ke rumah. Saya tidak rugi, orang tua juga lebih senang saya pulang tidak larut malam, tetangga saya pun tidak nyangkem. Happy ending.
Standar hidup itu kan sifatnya subyektif ya, belum tentu menjadi yang paling benar. Ibarat standar perusahaan deh, untuk jadi sebuah perusahaan yang makin baik kan pastinya ada proses peninjauan kembali peraturan atau standar perusahaan yang sebelumnya sudah berjalan. Standar hidup ya mirip, ada kalanya kita harus mengubah standar hidup kita.
Saya dan Arum kan hampir setiap hari chat melalui WA. Dari sekedar bergosip hingga saling tukar pikiran
Bagi penulis Besok Siang, tulisan yang sangat sangat berkualitas adalah tulisan yang unfaedah. Kami tidak merasa rugi menulis unfaedah, kalian juga tidak rugi kan membaca Besok Siang? Ya, kan? Kan? Nggak ada yang salah dengan Besok Siang.
Jika ada yang komentar, "Bikin tulisan itu mbok yang faedah! Ra mutu tenan! Tulisanmu huelik." APAKAH KEPALAMU MINTA DISLEDING?
Udah?
Gitu doang?
*Sleding*
halo, mbak Mon! halo juga, mbak Arum! (siapa tau mbak Arum baca juga. nanti kalo ga disapa, saya di sleding lagi wkwk)
BalasHapussaya biasanya silent reader di besok siang ini, tapi saya selalu suka sama postingan2 disini. apalagi tulisan mbak mon, karena entah kenapa personality mbak mon yang slenge'an dan punya friendship yang koplaque tapi erat pisan sama mbak arum jadi mengingatkan saya sama sahabat saya di Jogja. sukaaa banget gitu. emang ya, standar hidup persahabatan yang udah lekat justru saat sudah ga sungkan lagi ngeceni koncomu dewe. XD
semoga tetap bersabar menjadi sahabatnya mbak Arum yang selalu dinyinyiri karena jomblo ya, mbak mon! aku padamu pokokmen <3
Wah siapa nama sahabatmu? Jangan2 ternyata kenal dan pernah koplaque2an 😱
HapusEh, siapa yang berteman dengan Arum? Kami ini musuhan, hanya mau tak mau ya berpencitraan temenan demi Besok Siang yang proyeknya bernilai milyaran ini 👌
Marista, mbak mon. udah sahabatan dari jaman awal kuliah wkwk
Hapusaih... jangan gitu mbak mon. nanti gak dapet subsidi dari mbak arum lagi loh XP
risdata.wordpress.com
Wah, jadi kangen juga sama teman2 kuliah *berhubung sudah lama lulus kuliah :))*
HapusSejak kapan dapat subsidi? Arum bukan pemerintah ya tyda memberikan subsidi.
aku jadi inget dan sedikit pengen curhat mba.
BalasHapusaku juga kesel sama orang-orang yg terlalu ngurusi standar bentuk badan.
emang semenjak aku jadi jomblo aku itu punya temen sejoli yang badannya bisa dibilang gendut. semenjak aku kenal dia aku sering banget kulineran karna aku ini suka BM makanan yang aneh".
Dan tetangga/orang" yg kenal aku tuh mulai pada suka ngomentarin tentang kebiasaan aku yg suka kulineran dan bilang "nanti kamu gendut loh ka ! / kamu ngga takut gendut ? / kamu mau nanti gendut kaya si dia ?" dan itu sangat mengganggu.
Padahal kalopun aku gendut itu ngga akan ada untung ruginya buat mereka. Kadang aku suka kesel pengen ngomong kasar tapi yang ngomong orang tua semua dan demi menjaga nama baik orang tua aku cuma bisa senyumin kecut doang sama orang" yg ngurusin tentang kebiasaan sama badan aku. udah segitu aja takut kepanjangan nanti malah dijadiin materi sama mba mon hihihi
salam besoksiang lovers
Standar masyarakat dipengaruhi media juga sih. Kalau masalah bentuk tubh itu yang bikin kesel sebenarnya karena dihubungkan dengan cantik/jelek. Padahal standar cantik/jelek setiap orang beda2. Kecuali kalau dilihat dari sudut pandang kesehatan yaaa..
HapusIya kalau dilihatnya dari sudut pandang kesehatan aku lebih bisa terima.
HapusLah ini kesannya gemuk itu dosa dan menjijikan. Padahal aku itu standar dan masih bisa ngejaga berat badanku sendiri mba kan kezel. Gendutku paling gede 60kg sedangkan ibu" yang pada bilang aku gendut dan semacamnya itu mereka juga gendut lebih dari aku. Semacam ngga berkaca gitu, daripada ngurusin aku kan mending ngurusin berat badan dan kesehatannya sendiri. Sekalipun aku ngga ngerasa gendut tapi kalo dikatain gendut atau gede tetep sakit hati ngga terima dan cuma bisa legowo karna yang ngomong orang tua.
Wah kalau musuh bunda-bunda lebih baik diterima saja karena bunda yang paling benar.
Hapusiya maha benar para bunda dengan segala isi cangkemannya -_-
Hapusaku sebagai kaum muda hanya bisa tersenyum dan menerima itu semua.
Heiiii tulisan Kali ini panjang banget....
BalasHapusHeeeehhh.. masih lebih panjang ususku ini loh.
HapusTulung kuwi sirahe operke nang aku Mbak. Tak juggling.
BalasHapusSiapkan gawangnya dulu, baru kita oper2an.
HapusMbak mon tercinta, udah 2 kali ini loh "Udah? Gitu doang?" saya sampeyan pake buat penutup artikel besoksiang.
BalasHapusSaya ga terima, ini pelanggaran hak cipta, saya minta royalti. Dikira gampang apa dapetin inspirasi buat komen gitu? Susah tau. Harus semedi dulu 7 hari 7 malem di laut jawa.
Oke, untuk pembayaran royalti bisa lah kita dm2an.
Ranty, Jatim.
Wah, kami sebagai yang dimintai royalti ya tidak terima. Minta royalti kok akun-nya "anonim", hanya mengetik nama. Ranty di Jatim kan banyak sekali. Bagaimana kamu ini.
HapusDek Mon, di bawah kolong meja rumah Yogyakarta.
wah ini nih.....tulisan gini nih, kudu di sebar luaskan di di nyoh kan di depan muka tukang tukang nyinyir biar dibaca, biar tidak terlalu banyak nyangkem unfaedah
BalasHapusSilakan disebarkan. Semakin banyak yang terjaring untuk membaca, kesempatan untuk mendapatkan kapal fery akan semakin besar.
Hapusaku dulu punya standar hidup untuk menikah umur 25. tapi sekarang mau menginjak 26, aku belum menikah, dan aku baik-baik saja.
BalasHapusjadi aku sungguh setuju standar hidup itu sifatnya subyektif, belum tentu menjadi yang paling benar.
Btw, Mbak Mon, apakah Mbak Mon benar sedikit berotot? Apakah karena itu Mbak Mon gemar sleding2? hmmm
Dulu aku pengen nikah umur 27 th, begitu umur 26 th dan masih jomblo, diundur 28 th. Sekarang sudah 27 th, kemudian.... Ya, sudahlah :D
HapusLoh, apakah kamu mau merasakan sledinganku agar percaya?
Tulisan besok siang yang begini ini nih yang harus desebarluaskan, demi dunia yang lebih indah dan bebas dari kenyinyiran.
BalasHapusYa, mbok tolong disebarkan, seperti Bu Dendy nyebar duit itu loh.
HapusDan aku pun terus menanti update-an dari besok siang, walaupun tau tulisannya unfaedah. Ada apa denganku?
BalasHapusCoba bertanya pada rumput yang bergoyang~
Hapus