Dia Bilang Saya Jamban

Sebenarnya saya sudah meneguhkan hati untuk meneruskan cerbung Air, Api, dan Tanah karena saya nggak mau membuat hati para jemaahnya terluka. Skema besar chapter 6 sudah ada di dalam otak saya. Tapi, ternyata ada permasalahan yang lebih pelique dibandingkan dengan permasalahan yang dialami Keisha. Dan permasalahan tersebut penting untuk saya bahas di Besok Siang.

Saya punya teman kantor bernama Mukidi yang kopetnya ampun-ampunan. Kami punya hobi yang sama, yaitu saling menghina satu sama lain. Mukidi sering banget manggil saya, "Heh, sampah!" Kemudian di lain hari saya membalas dengan membuat pengumuman ke teman-teman satu divisi saya, "Kalian nggak usah deket-deket sama Mukidi ya, soalnya nanti kalian harus mandi pakai tanah."



Terdengar sangat kasar ya. Tapi, begitulah pertemanan saya dengan Mukidi, pertemanan kampret. Dan tentu saja gaya berteman saya ke Mukidi tidak bisa diterapkan ke teman saya yang lain. Ya, kali nyampah-nyampahin orang. Cukup Mukidi saja yang sampah.

Setiap pertemanan memiliki gaya berkomunikasi yang berbeda satu sama lain. Bagi saya dan Mukidi, saling menghina adalah gaya berkomunikasi yang dapat menjadi sebuah solusi yang brilliant. Solusi untuk mewaraskan diri dari segala rutinitas. Jangan dikira kami pisuh-pisuhan dengan mimik wajah garang. Jelas tidak. Kami pisuh-pisuhan dengan raut wajah Hello Kitty.

Beberapa waktu lalu, Mukidi mempunyai kosakata pisuhan baru, yaitu "jamban". Alkisah Mukidi sedang asyik ngobrol dengan Mbak Nurani. Saya bilang ke Mbak Nurani, "Kok mau sih ngobrol sama Mukidi? Dia kan bau sampah." Kemudian Mukidi membalas, "Wooo.. dasar jamban! Koe mambu jamban (kamu bau jamban)!"

DIA BILANG SAYA JAMBAN.

Ngakaklah saya! Mukidipun cekikikan dan bilang, "Diunekne koyo jamban kok seneng (dibilang mirip jamban kok senang)!"

Guyonan tersebut membuat saya menjadi tergelitik untuk berpikir lebih jauh lagi. Memang apa yang salah dari jamban? Dan jika ditilik lebih jauh, apa yang salah dengan sampah, anjing, bajigur, dan objek lain sehingga sering digunakan sebagai kosakata pisuhan atau ejekan?

Kali ini, saya tertarik untuk membahas jamban sebagai perwakilan dari objek-objek lain yang juga sering digunakan sebagai kosakata pisuhan. Saya tidak ingin membahas fungsionalitas dari sebuah jamban karena ketika kalian ketik "jamban" pada mesin pencarian, kalian akan menemukan banyak sekali artikel yang membahas jamban dari sisi fungsionalitasnya. Saya ingin membahas jamban dari sisi yang lain.

Jamban menurut KBBI:
/jam·ban/ n tempat buang air; kakus; tandas; peturasan
Ketika membicarakan jamban, tentu saja tidak akan terlepas dari kotoran karena memang jamban dan kotoran berkaitan erat. Bagi saya, jamban tidak hanya sekedar tempat buang kotoran. Jamban memiliki makna yang lebih dari itu, bahkan kita bisa belajar kehidupan dari jamban.


1. Stereotype


Banyak dari kita yang seringkali memiliki pemikiran yang terkungkung dengan stereotype yang ada. Sebagai contoh adalah stereotype bahwa jamban "hanyalah" sebuah tempat yang digunakan untuk membuang kotoran. Padahal justru karena jamban adalah tempat untuk membuang kotoran, maka jamban memiliki peran yang sangat besar bagi hidup kita, namun tanpa kita sadari kita mengecilkan peran jamban dengan stereotype yang melekat pada jamban. Sudah berapa orang yang kita kecilkan perannya sebagai manusia hanya karena stereotype tai kucing yang berkembang di masyarakat?

Sekarang coba bayangkan apa yang terjadi apabila tidak ada jamban?

Jika mencoba berpikir lebih jauh lagi, jamban bukan hanya sebagai tempat untuk membuang kotoran atau sebut saja "bersemedi". Banyak yang bisa kita lakukan di dalamnya sembari "bersemedi", seperti membaca buku atau koran, chatting dengan teman atau bahkan pacar melalui smartphone, terkadang malah menjadi saksi biksu kita menangis. Eh, pernah nggak sih menangis di dalam jamban karena malu kalau ketahuan menangis di luar? Saya kok, ehem.... pernah.

See? Jamban berfungsi sebagai penyelamat layaknya Power Ranger. Penyelamat kesehatan dan penyelamat muka saat tidak ingin ketahuan menangis :D


2. Apakah kita memperlakukan orang lain seperti jamban?


Bagaimana kita memperlakukan jamban? Datang ketika membutuhkannya.

Kadang kala kita memperlakukan orang lain seperti itu, datang dan mendekat hanya ketika membutuhkan. Saat tidak membutuhkan jamban tentu saja kita lebih memilih dunia yang lebih indah yang berada di luar jamban.

Contohnya saja masalah pertemanan. Dulu ketika saya masih pacaran, pernah ada satu waktu saya merasa jauh dari teman-teman saya. Setelah saya instropeksi diri, ternyata saya terlalu meprioritaskan ena-ena bersama pacar ketimbang bermain dengan teman-teman saya. Ya. Saat itu saya merasa kopet sekali.

Pacaran memang terasa indah sehingga kadang membuat kita memilih pacaran menjadi suatu hal yang jauh lebih prioritas dibandingkan dengan sekedar menanyakan kabar seorang teman.



Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang memang memiliki prioritas yang berbeda. Itu adalah hak setiap orang untuk menentukan sebuah prioritas di dalam kehidupannya, tapi perlu diingat bahwa jamban pun butuh dibersihkan. Mau sesibuk apapun kita, jamban tetap perlu dibersihkan bukan? Jamban perlu dimaintenance agar dapat tetap berfungsi sebagaimana mestinya.

Kalau jamban saja perlu di-maintenance, apalagi dengan pertemanan. Harus diperlakukan lebih dari jamban kan?

3. Jamban dan dunia maya


Di rumah keluarga saya ada dua jamban, yang satu jamban jongkok dan yang satu lagi jamban duduk. Jamban jongkok lebih senior dari jamban duduk. Sejak jamban duduk hadir di tengah keluarga saya, jamban jongkok mulai terlupakan. Alasannya ada banyak, mulai dari capek jongkok sampai dengan susah mainan smartphone kalau sedang jongkok.

Mari kita analogikan jamban jongkok sebagai kehidupan kita di dunia nyata dan jamban duduk sebagai kehidupan kita di dunia maya.

Banyak yang lebih memilih jamban duduk dengan alasan kenyamanan dan kepraktisan. Nyaman karena memungkinkan kita untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus. Kita bisa memainkan smartphone sesuka hati kita, membaca buku atau koran, bahkan berdandan ketika kita "bersemedi" bersama jamban duduk. Selanjutnya, praktis karena utuk membersihkan jamban duduk, kita hanya perlu menekan tombol flush, tidak perlu repot-repot nyidhuk banyu. Dan tentu saja tidak ada resiko kaki kepleset yang berujung pada kaki nyemplung ke jamban (dan saya pernah mengalaminya!).

Dunia maya sama halnya dengan jamban duduk.

Dunia maya memberikan kenyamanan dan kepraktisan dengan menyediakan segala informasi yang kita inginkan kecuali informasi siapa sebenarnya jodoh saya. Bahkan window shopping pun kini bisa dilakukan di dunia maya. Kalau mau window shopping tidak perlu lagi bangun dari tempat tidur, mandi, berdandan, dan manasin motor. Melalui dunia maya, saya bisa window shopping dengan mata yang masih tertutup belek.



Salah satu hal yang paling menyenangkan dari dunia maya adalah social media. Social media terlihat sangat menarik karena dapat menguhubungkan kita dengan teman yang sudah berbeda planet, eh pulau atau kota. Dapat menghubungkan kita dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Dan tak lupa juga memberikan halusinasi yang indah ketika mendapat like yang berjumlah ribuan.

Menurut saya, dunia maya dan dunia nyata sama pentingnya. Penting untuk pembelajaran sosial, terutama dalam hal interaksi sosial.

Melalui dunia maya khususnya social media, kita belajar memahami seorang individu melalui tulisannya, sedangkan di dunia nyata lebih rumit lagi karena kita belajar memahami seorang individu melalui ekspresi wajah, gesture tubuh, intonasi pengucapan suatu kalimat, dan lain sebagainya. Dan output dari pemahaman tersebut adalah bagaimana kita memperlakukan orang lain. Sayangnya banyak orang di dunia maya dan di dunia nyata yang membuat kita #gagalpaham.

The negative impact dari dunia maya adalah terlalu asyik dengan "kenyamanan" dunia maya membuat kita lupa dengan dunia nyata, yaitu si jamban jongkok. Menggunakan jamban jongkok memang penuh dengan tantangan, mulai dari resiko kesemutan, kaki kepleset dan berujung pada kaki nyemplung ke jamban, sampai dengan resiko ambaien kumat!

Terlepas dari semua resiko yang mungkin terjadi, beberapa penelitian menyatakan bahwa menggunakan jamban jongkok lebih sehat dibandingkan dengan jamban duduk.

Bukankah kehidupan juga begitu?

Seburuk-buruknya kehidupan yang kita jalani, ya itulah dunia nyata. Semembosankan apapun kehidupan yang kita jalani, ya itulah dunia nyata. Dunia nyata memang penuh dengan resiko, tapi bukan berarti dunia maya bisa menjadi tempat pelarian kita yang membuat kita lupa dengan dunia nyata. Pakai jamban duduk boleh, tapi jangan lupa jamban jongkoknya juga di-maintenance #buruburungosekjambandirumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar