Berkas sinar matahari menembus kelambu bunga-bunga
yang menempel di jendela rumah Sasmita.
Rumahnya bukanlah apartmen besar ataupun kondominium yang banyak menjamur
seperti cendawan di kota Bekasi, tapi rumah pohon yang bisa dibilang hanya
satu-satunya di kota barunya ini. Sambil cuci muka Sasmita
memandangi
cermin kusam, yang
hampir sama kusamnya dengan wajahnya yang
baru saja bangun
tidur.
Memori Sasmita
melayang ke linimasa medio 2008, dimana dia
dan teman-temannya memancing di sungai, jauh di
pedalaman Banjarmasin
kota tempat kelahirannya.
Namanya Sekhar
Sasmita, tidak dibesarkan di Bekasi, harus pindah ke kota ini sekitar 1 tahun
yang lalu. Kondisi keuangan Indonesia tengah memburuk tahun itu karena krisis
kredit perumahan, dan baginya
keadaan saat itu
jauh lebih buruk.
“Saasmiiii, hei
kamu tukang tidur ! Ayo
bangun, kita sudah ketinggalan bus sekolah !” teriakan cempreng gadis pirang
itu membuyarkan lamunannya.
“Iyaaa
baweel, bentar lagi aku turun,” ujar
Sasmita. Sasmita
segera bersiap-siap dan mengenakan baju seadanya karena hari Jumat
ini
merupakan hari pertama bulan puasa. Biasanya dia libur setiap bulan puasa, tapi
kali ini kami harus mengikuti ketrampilan tambahan. Sebenarnya Sasmita tidak berminat, tapi
Rahmia yang menginginkannya.
###
Rahmia adalah teman barunya di sekolah negeri ini,
bahkan bisa dibilang teman satu-satunya bagi
Sasmita. Sasmita termasuk orang yang
tidak mudah beradaptasi di lingkungan baru, bahkan setelah pindah dia justru lebih banyak
menutup diri. Sasmita menemukan sosok Rahmia ketika dirinya tengah terdesak
karena dijahili oleh segerombolan anak laki-laki yang terkenal sebagai pembuat
masalah di sekolah. Semenjak itu, Sasmita
dan Rahmia seperti dua pribadi yang tak bisa dipisahkan.
###
“Dasar
tukang molor,
kalo gak naik bus ini kita musti jalan kaki,” gerutu Rahmia. “Hawanya gerah begini,
bisa keriput aku nanti,”
lanjutnya.
Rahmia
memang pribadi yang suka mengeluh dan manja untuk ukuran seusianya, walaupun
sebenarnya Rahmi memiliki kekuatan yang tersembunyi. “Astaga Nona besar, panas segini
saja gak akan bikin kulit putihmu itu rusak,” celetukku, “Lihat tuh, berapa banyak bule yang ke Indonesia cuma
buat tanning gratis ?”. “Tapi
kan aku masih suka kulit putihku kayak gini,”
Rahmia membela diri.
Hei orang aneh
! Minggir
ke belakang, kau
membuatku jijik!”
Suara itu membuat Sasmita tercekat, suara yang
setahun ini sering didengarnya. Itu adalah suara Pino, anak
tinggi besar yang mungkin harinya akan terasa kurang kalau tidak mengganggu
anak lain. Sasmita hendak melayangkan tinju ke mukanya, kalau
saja Rahmia tidak memutuskan untuk berdiam diri. Sasmita
memelototi
makhluk besar itu, dia
tidak pernah takut dengannya walaupun dia seorang perempuan. Udara musim panas itu semakin gerah
saja lantaran ulah Pino yang tak tahu diri itu. Sasmita lebih memilih
menuruti Pino tanpa melawan dan pindah ke kursi belakang. “Nah, anak pintar. Semua kan jadi lebih mudah
kalau kamu
menurut.”
###
Hari ini adalah hari pertamanya naik bus sekolah,
biasanya dia
diantar oleh orang tuanya sebelum mereka berangkat bekerja. Namanya Lisa, murid
tingkat dua yang memiliki hobi di
bidang
jurnalistik. Lisa bergabung
dalam koran sekolah yang memuat berbagai macam berita terbaru tentang sekolah,
atau mungkin fenomena unik yang terjadi di lingkungan. Seperti biasa, Lisa selalu duduk di
sebelah Pino yang merupakan teman baiknya
dari kecil. Mereka tumbuh
bersama di lingkungan ini, banyak orang mengatakan Pino adalah anak yang buruk
kelakuannya, suka jahil dan melanggar aturan. Tapi menurut Lisa, Pino adalah anak yang baik, hanya saja kurang bisa menyalurkan
energinya.
Pagi itu Lisa merasakan
suasana yang sedikit berbeda di dalam bus sekolah, entah apa yang dia lewatkan. Sebelum
duduk, Lisa
melihat Sasmita yang duduk di barisan belakang. Matanya memerah seperti bekas
menangis, sementara tangannya mengepal. Lisa berdoa semoga tidak ada yang mengganggu mereka.
###
Ayah Sasmita merupakan orang yang sangat disiplin
namun halus pada orang yang disayanginya. Keras namun tak jarang sangat peka
terhadap apa yang keluarganya rasakan. Rasanya bisa seharian mereka habiskan bersama tanpa
beranjak dari tempat tidur. Tak jarang mereka
bercanda tanpa mengenal batas. Berlaku seperti teman, sahabat, kekasih, walau mereka adalah ayah dan anak.
Namun semua cerita itu pudar seiring Ayahnya mulai mengenal bisnis senjata
illegal. Sasmita
sendiri tidak tahu darimana Ayahnya
bisa berkenalan dengan dunia itu. Sasmita hanya tahu, Ayahnya hanyalah seorang
pengusaha yang sering bepergian ke luar kota.
Awalnya Sasmita masih memahami
pekerjaan Ayahnya,
namun hingga satu waktu dia melihat Ibunya
bersandar lemas di pintu dapur. Wajah dan tangannya
lebam, sementara hidungnya
mengeluarkan darah. Dari depan, Ayahnya berteriak, “Binatang jalang, kalau kau tak
trima aku beristrikan wanita lain. Pergi kau dari rumahku! Kuhidupi segala yang
kau mau, sekarang
kau mulai melawanku, hah?!”
Bagai tersambar petir lah Sasmita mendengar itu semua.
Tak disangkanya sosok Ayah yang begitu dibanggakannya, kini hendak menduakan mereka,
bahkan tega menyiksa dan menodongkan popor senapan pada mereka. “Bukan, ini
bukan ayahku.. aku tidak mengenalnya.. dia lelaki asing yang masuk ke rumahku!”
Sasmita
berlari menerobos pergulatan dalam batinnya, tetiba semua terasa gelap. Doorr!! suara
senapan meletus sembari robohnya lelaki di depan Sasmita. Baju
Sasmita penuh
dengan darah dan di tangannya
tergenggam sepucuk Baretta.
Apa yang telah Sasmita lakukan? “Lari Nak, lari..!! Ibu akan
melindungimu. Pergilah, cepat sebelum polisi datang!” teriak
ibunya sambil mendorong tubuh Sasmita.
Dengan mata kosong Sasmita lari menembus gambut,
semak belukar, sungai dan hutan. Masih terbayang jelas pergumulan yang baru saja
terjadi, tapi tetap saja Sasmita tidak bisa mengingat bagaimana ayahnya
kemudian terkapar bersimbah darah.
Setahun kemudian, Sasmita mendengar Ibunya telah dihukum seumur
hidup karena didakwa atas tindak pembunuhan dan kepemilikan senjata illegal.
Hati Sasmita
remuk.
“Sasmi! Apa
yang Kau
lamunkan? Berdiri
di depan kelas!”
Mampus. Si botak Nainggolan ini guru yang paling
killer di sekolah ini, Sasmita sendiri adalah salah satu murid “kesayangannya”. Segala
macam tingkah Sasmita
selalu salah di matanya. “Hei,
cepat ! Kau tak dengar apa Aku kata?” bentaknya, “Berdiri atau aku panggil
orang tua kau, supaya kau tak boleh sekolah lagi di sini.” Dengan senyum kecut,
terpaksalah Sasmita
melakukan kemauan si botak itu. Mungkin si botak itu sedang bermasalah dengan istrinya
di rumah.
Diiing dooong.. ding ding dung dung dong..
Untung bel sekolah cepat berbunyi
sehingga Sasmita
tidak perlu lama berdiri di depan kelas. Ketika hendak mengambil tas, tiba-tiba
sosok Rahmi
sudah keluar dengan menenteng tas milikku. Rahmi nampak tersenyum sambil
berkata, “Besok kamu gak boleh melamun
lagi. Kalau melamun, mending besok kalau kamu lagi pup. Hahahaha.”
“Hahahahaha, dasar jorok!” tawa mereka
pecah saat itu.
Memang
hanya Rahmi
yang bisa mengusir amarah dan kegelisahan Sasmita.
“Eh,
kamu pulang duluan gih,”
sahut
Sasmita
sambil berlari ke ruang guru, “masih
ada yang perlu aku selesaikan.”
###
Hari ini hari minggu, Lisa sudah ada di depan
rumah Pino. Rencananya mereka
akan hang out ke daerah Sentul, Pino
bilang ingin
menjajal gokart
barunya yang jadi kado kenaikan kelasnya.
“Hai Lisa, duh maaf ya.. aku lagi
nyari kucingku nih dia ngabur entah kemana,” katanya. “Hah, kok bisa? Kamu lupa masukin dia ke
kandang?” tanya Lisa.
“Perasaan sih udah, tapi gak tau ni pintu kandang sama garasi tadi pagi udah
kebuka. Paling si bibi lupa nutup pas semalem masukin ke kandang terus pulang,” ujar
Pino. “Ya, udah sini aku bantu nyari,
gak usah pake manyun juga,” kata
Lisa melihat
Pino yang kebingungan. “Siiip,
makasih ya Tuan
Puteri,”
Pino mulai sedikit tersenyum.
Akhirnya, kami mengobrak-abrik rumahnya sendiri,
mulai dari kandang, kamar Pino, orang tuanya, ruang baca, loteng hingga dapur.
Semua tempat sudah kami cari, kecuali garasi. Di tempat itu cuma ada kardus
bekas yang biasanya kucing Pino enggan berkeliaran di situ karena takut dengan
deruman mobil atau motor yang mau parkir. Tapi apa salahnya mencoba mencari di
tempat yang tak terduga.
Satu persatu kardus mulai Lisa turunkan, hingga
kardus ketiga dia
merasakan sedikit berat
dan tercium bau anyir. Perlahan Lisa membuka
kardus itu, “Kyaaa !! Piiiiinnoooo..!” nampaknya Pino terkaget mendengar
teriakan Lisa
karena dia datang dengan tergopoh.
“Ada
apa Sa, kamu nemuin kucingku?” tanya
Pino. Lisa mengangguk pelan
sambil tangannya
membuka kardus yang ditemukannya tadi. “Hah? Astaga apa-apaan ini?!” di
dalam kardus itu, kucing Pino sudah kaku. Kaki depannya diikat ke belakang,
sementara kepalanya hampir remuk seperti dihantam benda tumpul. Urat lehernya
pun hampir putus. Di dalamnya terdapat kertas bertuliskan “KAU GANGGU DIA LAGI,
KAU AKAN MENGGANTIKAN KUCING INI” Pino lemas melihat itu semua. Di balik kertas
itu terdapat inisial, sekilas nampak seperti huruf s kembar, tapi huruf pertama
mirip huruf n atau r.
Belum selesai keterkejutan Lisa, tiba-tiba ponselnya berdering. Editor koran
sekolah menelpon, “Ah,
ada apa ini hari libur menelpon,”
batin Lisa.
Baru saja tombol ditekan, suara panik dari ujung terdengar, “Cepat kamu ke sekolah,
Pak Nainggolan terbunuh. Jasadnya ditemukan di gudang.” Lisa
membatin “Astaga! Apalagi ini. Bisa-bisanya seorang guru terbunuh di sekolah. Kami terakhir
melihatnya kemarin pada Hari Jumat. Berarti sudah hampir dua hari dan tidak
ada orang yang tahu?”
Sekolah sudah ramai ketika Lisa sampai di
gerbang depan,
tapi belum ada polisi yang datang. Bergegas Lisa menuju gudang, dirinya
seolah berkata bahwa berita
seperti ini tidak boleh terlewat! Nafasnya seketika tercekat ketika
menyaksikan pemandangan di gudang. Sesosok lelaki tua terikat dengan kedua
tangannya di atas kepala, darah menetes dari tenggoroknya yang terbuka.
Kepalanya sendiri seperti memar terkena benda tumpul. Yang lebih memalukan,
tubuh itu tidak menggunakan sehelai benang pun. Di kemaluannya ada kondom yang
belum terpasang sempurna. Sepertinya dia dibunuh ketika hendak melakukan
hubungan seks. Tapi,
dengan siapa dan di sekolah? Seorang guru?
Di balik pintu gudang, terdapat tulisan berwarna
merah “GURU CABUL, INI BALASANMU”. Hei, ada inisial yang sama di tempat ini,
seperti huruf s dan r
pada kertas di kardus berisi kucing Pino tadi.
###
Pagi itu, Pino mengirim pesan singkat pada Lisa yang
mengatakan bahwa dia
tahu siapa yang menyiksa kucingnya sampai seperti itu. “Temui aku di rumah
pohon” begitu pesannya pada Lisa.
Lisa memutar
otak, mana ada rumah pohon di kota ini, apakah rumah pohon milik Sasmita? Apa hubungannya dengan
kucing Pino. Dan, ah sudahlah.. semakin cepat aku kesana semakin cepat Lisa
mendapatkan penjelasan.
Di depan rumah pohon itu Lisa melihat terparkir mobil polisi
dan sirinenya yang meraung-raung. Di kursi belakang, terduduk Sasmita dengan
tangannya terborgol yang kemudian ditutup jaket oleh polisi di sebelahnya. Pino
tiba-tiba muncul “Dasar kau tidak berperasaan. Penjahat gila! Kucing kau
bunuh, Pak
Nainggolan juga kau bunuh!”
“Inisial s dan r itu
pasti kau, tidak ada yang lain!”
“Hah, Sasmita
membunuh Pak Nainggolan?” tanyaku. “Bagaimana mungkin?” Pino berkata, “Aku melihatnya,
setelah kamu pergi, dia lewat rumahku dengan tangan yang merah, ada bekas
cakaran dan baju kotor seperti habis berkelahi. Aku yakin dia yang melakukan
semua ini, ada saksi juga yang melihatnya keluar dari gudang sekolah.”
Sasmita hanya menatap Lisa, gerak bibirnya
mengisyaratkan “Dia yang melakukannya, bukan aku. . .”
###
Malam itu, Lisa
tidak bisa tidur seperti biasa, dia
masih memikirkan semua kejadian yang rasanya terlalu cepat ini. Seperti bukit yang
tiba-tiba longsor menimbunnya,
membuat Lisa
tak bisa bernapas. Lisa
tidak menyangka orang seperti Sasmita bisa melakukan hal-hal keji seperti itu.
Menurutnya,
Sasmita merupakan sosok
orang yang baik dan sangat peduli terhadap lingkungan sekitar. Lisa meyakini hal itu ketika menatap
matanya.
Tet tet.. teteretet. Notifikasi email milik
Lisa berbunyi,
ada email masuk. Dari Pino,
dia mengirimkan artikel berjudul “Kasus Pembunuhan
Orang Tua oleh Anaknya Sendiri di Banjarmasin”. Artikel itu menyebutkan kasus
terbunuhnya seorang pengusaha karena senjata api. Pengusaha itu terbunuh ketika
bertengkar dengan istri dan anaknya. Istri pengusaha itu kemudian ditetapkan
sebagai tersangka dan dihukum seumur hidup, sementara anaknya entah menghilang
kemana. Nama anak itu adalah SEKHAR SASMITA. Lisa terlonjak sejenak di kursi
sementara
pikirannya
melayang-layang.
Tet tet.. teteretet. Notifikasi email milik
Lisa
kembali berbunyi, kali ini masih dari Pino. Dia mengajak Lisa kembali ke rumah
pohon milik Sasmita. Awalnya Lisa enggan, tapi rasa penasarannya timbul karena
ingin membuktikan, benarkah Sasmita yang melakukan semua ini.
###
Pino ternyata sudah sampai duluan, dia sudah
berada di atas ketika Lisa
memarkirkan skuternya.
“Lisa, cepat ke atas. Aku yakin dia menyembunyikan senjatanya di sini!” teriak
Pino.
“Senjata apa Pino??” bisikku karena hari sudah malam. “Senjata yang dia pakai
untuk membunuh Pak Nainggolan dan kucingku. Ayo, nanti kita ketahuan!” kata
Pino. Astaga, sejak kapan dia menjadi detektif, mungkin sejak kucing
kesayangannya jadi korban. Lisa pun kemudian menaiki tangga ke rumah pohon itu.
Kami seperti pencuri malam itu, mengobrak-abrik
lemari, kasur, rak, tas bahkan sampai tempat sampah Sasmita kami bongkar demi
mendapatkan bukti sehingga Sasmita tidak dapat berkilah lagi. Saat mencari di
rak bukunya, Pino menemukan sesuatu. “Hei, lihat ini ada surat tulisan tangan.
Ada inisial yang sama persis dengan kasus Pak Nainggolan dan kucingku!”
Kami membaca surat itu, isinya kurang lebih cerita
seseorang yang selalu diejek semasa kecil oleh temannya, bahkan pernah
dilecehkan secara seksual oleh gurunya sendiri hingga sekarang. Dia pernah
mengadukannya pada orang tuanya, namun orang tuanya tidak percaya apa yang
diadukannya karena dia dikenal suka mengarang cerita dan mencari perhatian.
Sekilas Lisa teringat pada Sasmita yang pernah
bercerita kalau masa
kecilnya kurang menyenangkan. Namun ketika membaca pengirim surat itu, tertulis
rs(Rahmia Setska)
Braaak !! Bayangan Sasmita muncul di pintu,
membawa pisau. “Kalian berdua, harus mati!”
Sekhar Sasmita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar